Friday 29 January 2010

Keajaiban Anak Kembar

Anak memang merupakan gambaran keajaiban dari Tuhan. Kehadiran mereka di dalam rahim saja sudah terasa begitu ajaib...seorang mahkluk hidup yang tergantung pada keberadaan sang ibu, yang ikut kemanapun ibunya pergi, yang merasakan apapun yang dikecap ibunya, bahkan juga ikut merasakan suasana batin sang bunda. Ajaib memikirkan betapa sebutir telur kecil berkembang membelah diri menjadi seorang bayi mungil yang montok dan lucu.
Kalau satu anak saja sudah terasa begitu ajaib, apalagi kehadiran dua bayi sekaligus...

Kehadiran anak kembar saya juga merupakan suatu kejutan. Bayangkan, awalnya dokter kandungan memanggil saya datang untuk konsultasi karena hasil tes yang kurang bagus (sepertinya ini skrining alpha fetoprotein plus yang dilakukan karena usia ibu ketika hamil sudah 35 tahun). "Kemungkinan anak anda Down Syndrome," kata suster yang menelpon, "Kita membutuhkan pemeriksaan lanjutan." Terbayang betapa terkejutnya saya mendengar berita itu? Tentu saja, rasanya benar-benar lemas dan tidak mampu berpikir. Dalam ajaran agama saya, janin sudah hidup sejak terjadi pembuahan. Sebagai orang yang selalu mendukung kehidupan (pro life bukan pro choice), mustahil untuk memikirkan kemungkinan mengakhiri kehamilan.

Suami yang pada kehamilan ke dua ini tidak lagi mengantar ke dokter kandungan, jadi ikut hadir dalam pertemuan berikut dengan dokter kandunganku. Suara jantung didengar, dan sang dokter membesarkan hati kami dengan mengatakan bahwa belum tentu janin kami Down Syndrom, ia akan memeriksa USG lebih teliti, kemudian bila diperlukan akan mengambil cairan plasenta (Amniocentesis) untuk pemeriksaan yang lebih lanjut.

Kejutan itu muncul ketika USG dilaksanakan dengan waktu yang cukup lama. Dokter bertanya apakah saya memiliki keturunan kembar dalam keluarga. Setahu saya tidak ada yang kembar. Saudara sepupu saya di Perancis memang Agustus tahun sebelumnya melahirkan anak kembar lelaki, tetapi saya mencurigai dokter kandungan di Perancis memberinya obat penyubur. Sepupu saya itu pernah kehilangan bayinya ketika sang buah hati belum genap berusia dua bulan, sehingga depresi yang timbul membuat dokter menyarankan agar ia segera memiliki anak lagi. Menurut mereka tidak ada penggunaan obat penyubur, tapi dalam keadaan bingung saya mengutarakan pikiran itu. Rupanya hasil tes saya yang menunjukkan angka tinggi (penanda Down Syndrome) terjadi karena ada dua janin di dalam perutku. Terbayang betapa kejutan yang satu berubah menjadi kejutan lain lagi?

Hah??? Kembar???? Saya dan suami tidak termasuk orang yang menginginkan anak kembar, apalagi kami sudah memiliki satu anak yang saat itu baru saja masuk sekolah. Wah, yang pertama terbayang adalah besarnya biaya yang harus kami sediakan sekaligus bila persalinan terpaksa harus melalui operasi. Bersyukur karena diagnosa Down Syndrome itu terbukti bukan perkiraan yang tepat, tetapi kaget juga tiba-tiba mendapat anugerah ganda.

Rupanya itulah penyebab rasa aneh yang kurasakan ketika duduk di lantai, juga rasa sesak yang terasa ketika tidur. Sebelumnya saya sempat bertanya pada dokter mengapa rasanya begitu pegal, tidak seperti kehamilan pertama saya. Apalagi saya juga tidak sanggup makan, semua makanan yang saya makan (kecuali buah mangga yang matang) pasti termuntahkan kembali. Ketika itu saya malah diomeli dokter. Saya disarankan untuk terus berpikiran positif, jangan cengeng, "Kasihan bayinya...," demikian kata dokter waktu itu. Ternyata jawabannya adalah kondisi bayi yang kembar. Hasil tes sangat tinggi menjadi wajar karena ada dua janin. Rasa pegal itu juga karena beban ganda yang harus saya bawa bersamaan.

Semakin besar usia kehamilan semakin sulit saya tidur, bukan hanya disebabkan oleh rasa sesak nafas dan sulit bergerak, tetapi juga karena kedua janin itu tidak berhenti bergumul di dalam perutku. Biasanya setelah punggungku dibalur minyak tawon yang hangat barulah mereka terdiam, tidur dengan nyenyak rupanya. Herannya setelah lahir, mereka masih juga suka bergumul...ada saja hal yang mereka pertengkarkan, belum lagi rasa iri atas perhatian mamanya pada kembarannya. Mungkinkah hal itu karena harus berbagi ruang sempit di dalam perutku selama tiga puluh enam minggu?

Mereka memang terlahir lebih cepat dari yang diinginkan dokter. Awalnya saya merasakan rembesan air ketuban ketika kelelahan menemani anak sulungku merayakan Tujuh Belas Agustus di sekolahnya, lalu merayakan ulang tahun keponakan dari suami sehari sesudah peringatan Tujuh Belas Agustus. Tapi ternyata ketika itu kondisi kandungan menurut dokter aman-aman saja. Tanggal 5 Oktober saya tiba-tiba melihat sedikit cairan memerah di celana...pendarahan. Mengingat anak pertama dahulu lahirnya masih sangat lama dari bukaan pertama, saya sempat santai dan masih bermaksud menemani anak sulung saya ke pesta ulang tahun. Hanya saja, ibu saya sudah mengomel dan memberikan perintah kepada sang menantu untuk segera membawa anaknya ke dokter. Dan jadilah saya diminta beristirahat total di tempat tidur Rumah Bersalin.

Aku lelah sudah empat hari tidur melulu, tidak boleh bangun sama sekali dari tempat tidur. Selama tiga hari diberi suntikan kortison agar menguatkan paru-paru bayi supaya mereka sudah siap bila harus lahir prematur. Setiap hari saya melahap coklat Silver Queen agar berat badan bayi yang lewat deteksi USG baru memiliki berat badan di bawah 2 kg, kalau tidak salah 1,6 kg dan 1,8 kg. Hari ke lima saya mulai berasa kurang enak, maklum risih rasanya BAB di tempat tidur, jadi selama lima hari itu saya tidak sanggup BAB. Tapi perut menjadi mulas. Saya minta izin dokter untuk turun ke WC, karena rasanya memang tidak sanggup harus BAB di tempat tidur. Ketika izin diberikan, dengan ditunggui suster di depan pintu, saya berhasil BAB. Tapi rasanya masih belum tuntas...Dasar bandel, tanpa minta izin... apalagi minta ditemani, saya membawa tiang infus saya sendirian ke kamar mandi. Mencoba lagi...Tidak berhasil...

Rupanya itulah awal dari dorongan pembukaan untuk kelahiran bayi-bayiku. Setelah itu saya mulai merasa ingin buang air kecil (BAK) setiap lima belas menit, semakin lama semakin terasa cepat, lima menit sekali...sampai akhirnya suster jaga melihat bahwa sudah saatnya saya dibawa ke ruang Kala II, yaitu ruang untuk menunggu persalinan. Ketika itu kurang lebih pukul 02.00 pagi. Awalnya dokter masih menginginkan saya menambah istirahat sedikitnya 2 minggu lagi agar mencapai usia janin 38 minggu, tapi ternyata benar-benar tidak bisa ditahan lagi.

Saat akan melahirkan, air ketuban sudah dipecahkan dokter...bukaan sepuluh sudah lama terjadi, tetapi anak-anak itu tersangkut di lubang lahir. Keduanya ingin lahir bersamaan, tidak seorangpun yang mau mengalah sehingga terjadi adu kepala. Dokter sudah angkat tangan dan meminta izin operasi. Kebetulan saat itu suami saya tidak ada di tempat. Menunggu sejak pagi tanpa perkembangan membuat dia gelisah, dan mendengar bahwa dokter menginginkan saya menunggu paling tidak dua minggu lagi, membuat dia minta izin kepada ibuku untuk pergi menghadiri sebuah rapat di proyek yang sedang dikerjakannya. Ketika dokter minta ibuku menanda-tangani izin operasi, ibuku menjadi sedikit panik dan sempat mengatakan ingin menunggu suamiku. Tapi ia segera tersadar dan menanda-tangani surat izin keluarga itu. Kejadian ini sempat memperpanjang waktu persiapan ruang operasi dan menghubungi dokter spesialis anastesi. Perpanjangan waktu yang tidak lama itu rupanya memberikan kesempatan bagi kedua janin di perut saya untuk memperbaiki posisi. Setelah saya berdoa mohon bantuan Tuhan untuk bisa menghindari operasi (terus terang saya takut sekali dioperasi), saya lalu meminta mereka bersiasat agar bisa keluar. Yang badannya lebih besar saya minta mengalah, sementara yang lebih kecil badannya saya minta mencoba keluar lebih dahulu.

Bayi pertama yang lebih kecil, dua koma empat kilogram, muncul terlebih dahulu. Bidan yang melihatnya berteriak memanggil dokter dan membatalkan persiapan operasi. Dibantu dengan alat penyedot bayi kembar pertamaku lahir. Kepalanya agak sedikit benjol untuk beberapa waktu lamanya. Kemudian selang waktu lima menit keluarlah bayi kedua yang berat badannya ternyata dua koma enam kilogram. Kemudian sekali lagi harus mengejan untuk mengeluarkan plasenta yang menurut dokter hanya satu karena keduanya adalah bayi kembar identik. Anak-anakku lelaki lagi...

Menurut yang menjengukku sesaat sebelum proses lahiran berlangsung, wajahku menghitam. Entahlah, satu hal lain yang sangat ajaib bagiku adalah kenyataan bahwa rasa sakit ketika melahirkan itu selalu tertutup oleh bahagia menyaksikan buah hati yang lahir selamat tanpa cacat apapun.

Setiap kehamilan rupanya bisa berbeda masalahnya. Bahkan untuk urusan kenaikan berat badanpun tidak selalu harus sama. Ketika hamil anak pertama yang lahir seberat tiga koma tiga kilogram, aku hanya menambah timbangan sekitar 11 kilogram. Sementara ketika hamil sikembar aku menambah beban cuma 13 kilogram.

Beruntung semuanya berjalan baik, si kecil hanya sempat sedikit kuning sehingga harus disinar agar mengurangi kadar bilirubinnya. Episode baru yang menanti adalah belajar memberi ASI kepada keduanya secara bersamaan. Menyusui satu demi satu tampaknya agak sulit, ketika yang satu belum lagi kenyang bayi kembarannya sudah menangis melengking putus asa kehausan. Alhasil saya berupaya untuk menjalankan teori menyusui anak kembar secara bersamaan, satu di kiri, dan satu lagi di kanan. Kini setelah semua itu berlalu, rasanya sungguh ajaib bisa melaksanakannya sendirian.

Hidup memang penuh keajaiban.

Saturday 23 January 2010

Bayi dan bahasanya

Beberapa waktu lalu tampaknya ibu-ibu Indonesia cukup heboh dengan kehadiran Dunstan baby language, hasil temuan seorang wanita bernama Priscilla Dunstan, yang terangkat berkat acara televisi Oprah Winfrey.

Tiba-tiba ramai dibicarakan orang mengenai bahasa bayi, dan cara mempelajarinya. Berbagai macam buku dan video bisa dibeli untuk mempelajari bahasa bayi yang katanya universal itu.

Menurut saya, sebenarnya bahasa bayi tidak perlu sesusah itu dipelajari, cukup sang ibu lebih teliti menangkap tanda-tanda dari bayinya, secara otomatis "bahasa bayi" tadi jadi bermakna.

Menurut wikipedia, pengenalan bahasa bayi dari Dunstan belum teruji secara ilmiah, tetapi tampaknya secara usaha langsung dibagikan kepada pasar. Ada lima suara bayi yang menurut teori Dunstan berlaku universal yaitu:
Neh : saya lapar
Owh : saya mengantuk
Heh : saya merasa tidak nyaman
Eairh : saya kembung, banyak angin di perut
Eh : saya kembung, ingin sendawa

Unik juga bahwa Priscilla Dunstan mau berlelah-lelah mempelajari suara bayi lainnya sehingga menghasilkan teori "bahasa bayi Dunstan" yang sekarang kabarnya menjadi usaha mantan suaminya.

Anak pertama saya termasuk anak yang cerdas berbahasa (pada waktu bayi, heran juga bahwa dia sekarang tidak terlalu pandai berekspresi secara lisan maupun tulisan). Dia sangat cepat mengerti perkataan, dan memiliki ekspresi tersendiri dengan keinginannya. Terus terang saya tidak mencatat apakah ia menggunakan lima ekspresi yang disebut-sebut oleh Dunstan. Tentu saja "owh" adalah ekspresi mengantuk yang kita orang dewasa juga kenal, tapi selain itu saya kurang memperhatikannya. Mungkin juga saya perlu membuka kembali catatan harian saya untuk bayi pertama saya. Maklum anak pertama, saya masih rajin mencatat dan membuat album foto.

Ada satu bahasa bayi yang sangat khas dari anak pertama saya, sehingga lama-lama orang lain juga ikut mengenalinya..."ging", terkadang terdengar sebagai "nggingg..." yang artinya dia minta susu. Suara ini hanya khusus terdengar saat dia ingin susu. Saat lapar dan ingin makan biskuit tidak pernah terdengar kata "ging". Tapi, rasanya itu adalah satu-satunya bahasa bayinya yang kucatat.

Bagi orang lain, anak pertamaku mungkin agak terlambat bicara, paling tidak terlambat untuk ukuran pengertian orang lain. Bagi saya dan anak saya, tidak ada kesan terlambat, karena saya mengerti saja apa yang ingin dikatakannya walaupun bagi orang lain ucapannya masih termasuk ocehan bayi (babbling).

Sempat bingung juga bila dia terlambat bicara karena bingung bahasa. Maklum, sejak dalam kandungan dia sudah menjadi korban eksperimen ibunya. Dari musik Mozart, Tchaikovsky, sampai lagu Perancis Anggun C Sasmi menjadi menu harian sang janin. Buku bacaan kubacakan termasuk "Matilda" (karya Roald Dahl) yang kudengarkan kasetnya dalam bahasa Perancis. Alhasil setelah agak besar yang muncul pertama kali adalah penolakan terhadap bahasa Inggris dan bahasa Perancis. "Mama, boleh aku belajar bahasa Spanyol? Aku sudah bisa uno, dos, tres,...," demikian pintanya sambil mengeja angka dalam bahasa Spanyol dari satu, dua, tiga, hingga angka sepuluh. Sumbernya kemungkinan sekali adalah VCD Dora the Explorer yang sebenarnya kubelikan dalam bahasa Inggris, tapi memang Dora memasukkan pelajaran bahasa Spanyol dalam filmnya.

Herannya juga, anakku ini tidak termasuk anak yang suka dibacakan cerita ketika masih kecil, tapi sekarang ketika menjelang remaja tampaknya ia cukup senang membaca (walaupun bukan buku tebal seperti Harry Potter). Ia tidak cukup diam untuk dipangku dan dibacakan cerita. Sebuah buku tentang Dumbo menjadi korban robekan tangan mungilnya yang tidak bisa diam.

Yang paling menyenangkan adalah efek musik yang cukup terasa. Bila dia rewel maka musik cukup bisa menenangkannya. Meskipun dia tidak bisa diam, tetapi dia cukup mampu untuk ditinggal bermain sendirian di dalam tempat bermain yang khusus dibuatkan untuknya.

Ketika awal memasuki masa bicara (walaupun dianggap belum jelas) dia kesulitan mengucapkan awalan. Setiap kata merupakan perulangan kata. Jadilah mama dan oma, serta papa dan opa hanya berbunyi "Ma-ma" dan "Pa-pa". Karena papanya agak jarang berada bersamaan dengan opa, maka kata "opa" menjadi "papa" tidak terlalu bermasalah, sementara untuk membedakan antara mama dan oma perlu sebuah kiat khusus. Jadilah ia diperkenalkan dengan panggilan "nenek" yang juga mirip dengan perulangan "ne-ne". Dan akhirnya semua generasi cucu memanggil ibuku dengan sebutan "nenek", sementara sang kakek tetap mendapat panggilan "opa".

Kembali ke soal bahasa bayi...Menurut saya, tidak perlu secara khusus mempelajari bahasa bayi, entah benar-benar universal atau tidak, yang perlu adalah mempelajari bahasa bayi yang dikeluarkan bayi kita sendiri. Catat saja setiap kali ia mengeluarkan perkataan yang tampaknya bermakna atau berulang. Awalnya saya pikir kata "ging" itu timbul karena adanya respon terhadap keinginannya, sehingga "kata" tersebut dibakukan dalam perbendaharaan bahasa bayinya.

Pada si kembar terus terang agak sulit bagi saya untuk mengenali bahasa bayi mereka. Mungkin kelelahan fisik, ditambah usia yang tidak terlalu muda lagi (35 tahun) apalagi setiap malam harus mengurus dua bayi seorang diri, membuat kepekaan dan kesabaranku untuk mengenali bahasa mereka agak kurang.

Tapi, sepandai apapun saya mengenali suara bayi tetap saja ketika mereka rewel karena sakit biasanya saya juga menjadi serba salah, dan lebih sering salah mengartikan keinginan mereka sehingga berakhir dengan tangisan yang semakin keras.