Sunday 4 July 2010

ASI dan makanan padat

Masalah makanan padat pertama seringkali banyak terpengaruh dari kebiasaan keluarga. Rasanya masalah pemberian ASI (air susu ibu) atau bukan juga ikut berperan. Anak pertama saya mendapatkan ASI hingga usia 2 tahun. Herannya dia menjadi agak pemilih dalam hal makanan padat. Selain karena faktor alergi yang sudah pernah saya singgung dalam tulisan sebelum ini, tampaknya rasa dari makanan itu juga berpengaruh.

Sesuai dengan kebiasaan keluarga ibu saya, maka makanan padat pertama anak adalah pisang yang dikerok dan diberikan langsung ke anaknya. Anak pertama saya sangat pemilih, pisang yang diterimanya harus manis. Pemberian pisang ini seingat saya mulai usia empat bulan. Setelah itu masuk masa pemberian nasi tim. Anak pertama saya langsung mendapat nasi tim yang dihaluskan karena dia tidak pernah mau makan bubur. Termasuk bubur susu. Hal ini agak menyulitkan saya karena bila bepergian kami jadi agak kesulitan menyediakan makanan baginya. Bubur susu berbahan dasar kacang hijau dari salah satu merek bubur susu sempat disukainya. Tapi, jangan berharap mengganti merek karena pasti dilepeh keluar. Begitu juga makanan bayi dalam botol yang impor dari luar itu, tidak mau disentuhnya. Entah apa dia sudah berpikir ekonomis mencari makanan dalam negeri yang murah meriah. Kunci utama soal ini sepertinya memang terletak pada ASI yang jauh lebih manis daripada makanan buatan itu, kemudian nasi yang lebih asin daripada makanan ready to eat yang tersedia. Entah, bila hal ini menandakan bahwa seharusnya saya sebagai ibu perlu diet gula dan diet garam.

Anak pertama saya memang indra perasanya sangat peka. Suatu ketika sayur bening bayam untuk sang kakek tertukar dengan sayurnya. Sayur sang kakek tidak pakai garam karena harus diet garam, ketika hendak makan baru ditambah garam diet. Sang kakek makan dengan tenang, tidak merasakan kalau sayurnya cukup asin. Sementara itu si cucu dengan cepat menyemburkan makanannya ke luar mulut. Tentunya dia belum bisa berbicara, sehingga saya harus menyicipi sayur itu baru tahu letak kesalahannya.

Anak kembar saya rasanya tidak terlalu cerewet seperti kakaknya. Atau mungkin juga saya kurang memperhatikan karena di masa mereka kecil saya selalu memiliki bala bantuan. Satu suster dan satu asisten rumah tangga menemaniku. Kondisi paling jelek ya hanya ada seorang suster, biasanya hal ini hanya terjadi pada saat darurat. Tapi kembar yang lebih belakangan keluarnya lebih susah disuapi. Mereka berdua berbeda berat badan. Yang lahir lebih dahulu memiliki berat 2,4 kg sementara yang lahir kemudian memiliki berat lahir 2,6 kg. Karena yang belakangan ini susah makan, selalu ngemut makanan, maka akhirnya berat badannya terlampaui jauh oleh kembarannya.

Rasanya makanan yang dimakan sewaktu mereka masih di dalam perut tidak terlalu pengaruh. Malah agak lucu kalau dibandingkan. Ketika kehamilan anak pertama, saya sangat rajin makan makanan laut. Ikan, udang, dan cumi menjadi makanan yang paling sering saya makan. Maklum, anak pertama... Kebetulan suamiku juga suka makan makanan laut, jadilah saya sering diajak makan di tenda kakilima yang jualan udang dan teman-temannya itu. Ngidam waktu kehamilan anak pertama agak banyak. Ada ngidam manggis. Hehehe...seumur-umur saya tidak terlalu doyan manggis karena rasanya agak asam, tetapi ketika hamil tiba-tiba minta manggis. Suami sempat takut anaknya nanti berkulit hitam (soalnya dia juga setiap hari ngomelin tetangga depan rumah yang orang Afrika)...hahaha...untung anaknya lahir tetap putih bersih! Ada lagi ngidam Chicken steak dari AH, eh dia nggak beliin. Ketika akhirnya dia ingat, beli malah chicken steak dari Abubah. Heran ya, makhluk lelaki...pikirnya asal ayam ya sudah...Akhirnya anaknya ngeces, enggak tahu ya itu akibat ngidam yang tidak kesampaian atau bukan?! Ada juga ngidam sayur lodeh, tapi begitu seorang teman ibuku mengirimkan lodeh idamanku dan kumakan...langsung perutku bereaksi memuntahkan isinya ke luar.

Urusan muntah ini akrab denganku ketika aku hamil anak kembarku. Setiap kali makan pasti kumuntahkan kembali. Rasanya sudah seperti orang aneroksia. Hanya mangga harum manis matang yang masuk dengan selamat dan menjadi sumber energi utama selama kehamilan kembar itu. Proses muntah ketika hamil si kembar ini berlangsung dari sejak awal menyadari kehamilan hingga akhirnya melahirkan di usia kehamilan 35/36 minggu. Eh, tapi kalau kuingat lagi, waktu saya istirahat di tempat tidur Rumah Bersalin selama lima hari sebelum kelahiran mereka rasanya aku tidak muntah. Memang aku makan sedikit tapi tidak muntah. Aneh juga ya? Memang sih waktu itu aku merasa santai di Rumah Bersalin. Kondisi asisten Rumah Tangga yang agak bermasalah waktu itu menambah stress di rumah.

ASI untuk anak kembar ini harus terhenti di usia mereka yang 18 bulan karena aku terkena cacar air. Awalnya masih kuperah untuk mereka, tapi hasilnya sedikit sekali sehingga akhirnya terhenti. Karena selalu ada perawat bayi yang membantuku maka kesulitan memberi makan tidak terlalu terasa. Secara umum mereka juga lebih mudah diatur untuk duduk di kursi makan bayi.

Tampaknya ASI sangat mempengaruhi selera makanan padat bayi, dan kemudian cara (dan waktu) pemberian makanan padat juga berpengaruh pada tanggapan mereka terhadap makanan di kemudian hari.

Monday 10 May 2010

Pentingnya tidur bagi anak

Ada satu hal yang paling sering saya foto dari bayi-bayi saya, yaitu mereka dalam keadaan tidur. Bahkan sampai mereka besar kebiasaan tidur mereka masih menjadi obyek foto yang menarik saya.

Pertama-tama tentunya bayi tidur menyenangkan bagi ibunya karena kesempatan emas itu adalah kesempatan bagi sang bunda untuk ikut tidur atau beristirahat. Tidak heran kalau wajah bayi yang tertidur senantiasa nampak bagaikan wajah malaikat yang begitu penuh dengan ketenangan, halus dan mempesona.

Anak pertama masih menjadi obyek pemotretan yang sangat berlebihan. Anak pertamaku punya foto sedang tertidur dengan digendong berbagai orang. Dari ayah, ibu, kakek, nenek, hingga om dan tante, semua ikut menggendong. Ada juga foto-foto di mana yang menjaga ikut tertidur bersama sang bayi.

Tidur itu sangat penting bagi bayi. Dalam National Geographic Mei 2010 ada sebuah artikel berjudul "Misteri Tidur". Di dalam artikel itu dikatakan bahwa sepertiga dari usia kita digunakan untuk tidur. Apa yang menyebabkan kita tidur tetap belum jelas meskipun orang telah puluhan tahun melakukan riset mengenai tidur. Teori yang paling mudah diterima katanya adalah bahwa tidur merupakan kebutuhan otak.

Sebuah penelitian di Harvard yang dipimpin oleh Robert Stickgold menemukan bahwa mahasiswa yang mengalami tidur REM meningkat kinerjanya dalam tugas pengenalan pola seperti tata bahasa, sementara mahasiswa yang mengalami tidur gelombang dalam lebih baik dalam menghafal. Konsolidasi memori mungkin merupakan salah satu fungsi tidur, demikian kesimpulan dari penelitian itu.

Bisa jadi penelitian itu memiliki korelasi dengan kondisi anak kembar saya yang sangat sukar dalam menghafal. Ketika memasuki kelas I SD mereka mampu menuliskan (baca: menyalin) tulisan tapi tidak mampu membacanya, mereka bahkan tidak bisa mengenali satu huruf pun. Padahal mereka sudah belajar mengenal huruf sejak masih sangat dini. Bahkan mungkin lebih dini usianya daripada ketika kakak sulung mereka belajar huruf. Mungkinkah masalah gangguan tidur (akibat muntah ataupun geliat-geliat gelisah dalam tidur) mereka yang menjadi penyebabnya?

Ada lagi penelitian lain mengenai anak kondisi tidur anak kembar yang juga menarik untuk disimak. Katanya anak kembar itu saling menguatkan, bahkan ketika disatukan tidur di dalam inkubator yang sama, bayi yang lebih sehat bisa memberikan pelukan yang menguatkan saudara kembarnya yang lemah, sehingga keduanya sama-sama tumbuh dengan sehat. Kisah yang menyentuh dari The Rescuing Hug ini sangat menyentuh. Bukan saja karena isi kisahnya, tetapi karena anak kembarku sendiri seringkali tampak saling melindungi. Tadinya seingatku ada foto mereka dalam keadaan yang satu memberikan pelukan kepada yang lainnya, tetapi ternyata hanya ada foto mereka dimana yang satu tampak seakan bersandar atau mencari kekuatan kepada yang lain. Sebenarnya pada masa-masa awal kelahiran itu tampaknya ada waktu-waktu di mana mereka saling memberikan pelukan yang menguatkan. Ketika orang dewasa tertidur sambil memeluk si kecil, bisa jadi pelukan ini juga memberikan kekuatan baru bagi si kecil. Tentunya keamanan sang buah hati perlu diperhatikan (jangan sampai terjatuh, atau tertindih).


Walaupun tidur itu berguna bagi bayi, tetapi terlalu banyak tidur juga perlu dicermati oleh ibu muda yang baru pertama kali memiliki anak. Ketika sepupuku memiliki seorang bayi yang manis dan pendiam, terus terang saya sempat merasa iri. Ibunya bisa menyempatkan diri untuk bekerja dan memiliki waktu bersantai tanpa terlihat terganggu oleh kehadiran bayinya. Bayinya sangat pendiam, dan banyak tidur. Ia akan bangun untuk menyusu lalu kembali terlelap. Hal itu sangat langka bagiku yang punya bayi aktif dengan jarak waktu menyusu agak terlalu cepat. Ternyata tak lama kemudian, kami baru mengetahui bahwa bayi sepupuku yang manis dan pendiam itu memiliki masalah jantung bawaan. Operasi yang dilakukan pada usianya yang masih sangat belia tidak berhasil memperpanjang kehidupannya. Karena itu berhati-hati jugalah bila memiliki bayi yang terlalu banyak tidur.

Sama seperti semua aktivitas lainnya yang butuh keseimbangan, demikian pula kita membutuhkan tidur sesuai dengan kebutuhan badan. Terlalu banyak tidak baik, terlalu sedikit juga berakibat buruk. Jadi perhatikanlah kebutuhan tidur itu, karena kita membutuhkannya dari sejak bayi hingga dewasa dengan kadar yang berbeda-beda setiap orangnya.


Tampaknya tidur yang cukup juga mengurangi hiperaktivitas anak. Tidur siang bersama juga berguna untuk mendekatkan kakak dan adik, walaupun tidak jarang juga ada yang terkena tendangan (tidak sengaja). Apakah kebiasaan tidur juga hubungannya dengan kebiasaan di dalam kandungan? Entahlah, tapi salah tahu kebiasaan tidur anak kembarku cukup membuat orang-orang tertawa geli, gaya tidur tengkurap mereka masih bertahan hingga usia yang cukup besar. Gaya tidur ini pernah kuperlihatkan di sini.

Keterangan foto:
Ray dan mama; sama-sama tidur
Raphael dan Fransisco; yang lebih lemah tampak seakan berlindung
Raphael dan Fransisco; gaya tidur yang antik
Ray dan Raphael; paling akrab kalau tidur

Tuesday 2 February 2010

Bayi dan Alergi


Aku sendiri memiliki alergi, kalau sedang stress biasanya alergiku muncul. Menjelang wisuda dan menjelang pernikahan biduran tiba-tiba menjadi kawan setia. Pada saat wisuda malah saya hadir dengan bedak tebal riasan pengantin karena separuh wajah bagai terbakar karena alergi obat. Biasanya saya tidak pernah alergi obat, tapi waktu itu malah terkena alergi pada obat yang diberikan dokter kulit ketika biduran menyerang selepas persiapan ujian akhir di universitas. Kalau biasanya aku hanya gatal bila terkena benda logam, bila memakai pakaian sutra atau pakaian yang agak lama dibiarkan di lemari, maka kala itu semua hal menjadi pemicu alergiku. Terkena air hujan aku bentol-bentol, makan frozen yoghurt aku juga bengkak, aduh benar-benar serba salah. Begitu juga yang terjadi pada saat aku akan menikah.

Tidak disangka anak-anakku rupanya menerima garis keturunan alergi dariku (bahkan mungkin juga ada yang dari garis ayahnya juga). Anak pertama sangat rentan terhadap buah-buahan. Ketika waktunya dia mulai makan buah, saya agak kesulitan. Makan pisang masih lancar, tapi pepaya dan melon tidak bisa diberikan. Selain bibirnya biasa membengkak, ia juga menjadi diare berat. Biaya berobat menjadi sangat besar untuk bayi yang rentan alergi. Bayi pertamaku ini seringkali memerah pipinya, kemudian hari baru kuketahui bahwa kemungkinan hal itu karena ia alergi susu sapi. Alergi susu sapi pada anak ini tidak sempat terekam karena dia memang lebih suka ASI daripada susu formula, sampai suatu hari ia mogok total meminum susu formula. Karena saat itu saya sudah berhenti bekerja, dan mungkin makanan dan minuman tambahan untuknya sudah cukup maka susu formula saya hentikan saja. Berkaleng-kaleng susu yang sudah saya stok (karena ia lahir tahun 1998 saat krismon, sehingga begitu mendengar harga susu akan naik saya segera membeli persediaan susu) terpaksa saya jual murah kepada orang lain yang membutuhkannya.

Kalau si sulung alergi susu sapi tapi tidak terdeteksi, maka si kembar lain lagi kisahnya. Dari kecil mereka sakit melulu. Inhalasi sudah menjadi langganan bagi anak-anak ini, bahkan pada usia tujuh bulan satu dari mereka harus masuk Rumah Sakit selama beberapa hari.

Awalnya alergi susu mereka tidak mencolok, mungkin karena mereka minum ASI. Tetapi kemudian rasanya ASI ekslusif tidak bisa diterapkan pada kedua anak ini, perlu tambahan susu formula. Mulailah permasalahan timbul. Awalnya saya agak heran mengapa mereka tidak pernah bisa tidur dengan tenang, selalu saja menggeliat-geliat gelisah. Kalau kakak sulung mereka dulu ketika bayi suka beringsut ke atas, diletakkan di bagian bawah boks sebentar saja sudah menangis karena kepalanya terbentur bagian atas boks. Waktu itu ilmu gampangnya ya membawa sang bayi tidur bersama ibunya. Hanya saja ilmu ini agak sulit dilaksanakan kepada si kembar. Bagaimana membawa dua bayi ke tempat tidur? Sisi tempat tidur mana yang harus dijaga untuk mencegah mereka jatuh? Selain itu mereka hampir selalu muntah ketika tertidur sesudah menyusu. Buang air besar (BAB) juga merupakan proses yang tampak menyakitkan buat mereka. Tapi mengganti jenis susu formula penambah ASI tidak juga membantu.

Yang agak mengesalkan saya adalah tanggapan sokter spesialis anak yang saya beri laporan mengenai keadaan tersebut. Saya diberi nasehat bahwa bayi menggeliat-geliat di saat tidur itu biasa... kata dokter itu namanya olah raga bayi. Kemudian muntah di tengah tidur yang cukup deras memancur ke luar itu merupakan kesalahan saya karena tidak cukup menyendawakan sang anak. Rasanya saya kenal tipe gumoh yang normal, tetapi karena merasa beliau seorang dokter anak yang cukup terkenal, saya hanya bisa heran di dalam hati. Begitu pula mengenai BAB yang keras, dinasehati menambah air putih ya saya laksanakan saja, padahal sebelumnya juga sudah cukup minum air putihnya.

Walaupun sudah lebih memperhatikan lagi proses sendawa setelah menyusu, tetap saja gumoh yang berlebihan itu berlangsung. Bahkan akhirnya mereka berdua terkena hernia umbicalis. Ususnya mencoba keluar melalui lubang bekas tali pusar. Ketika itu saya diminta membeli tali pengikat pinggang untuk menahan tekanan usus pada pusar. Harganya lumayan mahal, apalagi untuk dua orang anak. Tetapi alih-alih sembuh yang ada malah pinggang mereka lecet semua. Terbayang betapa perihnya terasa di kulit halus mereka. Akhirnya saya tidak tahan dan pindah ke dokter spesialis anak yang dulu menangani anak sulungku. Sambil memperlihatkan tonjolan di pusar dan lecet-lecet di kulit mereka akibat penahan pusar dari dokter yang lama, saya juga menumpahkan unek-unek masalah lama yang senantiasa dipersalahkan kepada saya sebagai ibu mereka. Tidak diduga dokter senior ini mengatakan bahwa anak kembar saya alergi susu sapi, sebaiknya mengganti susu sapi dengan soya. Sementara untuk masalah tonjolan pusar malah diberikan ilmu tradisional, yaitu uang logam seratus rupiah yang dicuci bersih lalu dibungkus dengan kasa steril, setelah itu tonjolan pusar sedikit ditekan ke dalam dan di atasnya diletakkan uang logam berbungkus kasa steril tersebut yang lalu diplester dengan plester 3M yang lembut. Ternyata cara ini sangat ampuh, murah tapi manjur....

Hanya saja susu soya tidak membantu, selain mereka menolak susu tersebut tetap saja geliat gelisah dan muntah di antara tidur mereka masih terus berlangsung walau tidak sedashyat ketika meminum susu sapi. Karena itu dokter anak meminta saya mengganti susu dengan NAN HA yang hypoallergenic. Awalnya sempat bingung karena mereka masih muntah walaupun tidak sesering dan sehebat dahulu. Setelah diperiksa ternyata mereka masih menerima asupan susu sapi dari ASI karena saya masih minum susu untuk ibu menyusui. Setelah benar-benar menihilkan konsumsi susu sapi yang bukan hypoallergenic barulah mereka berhenti muntah, berhenti menggeliat gelisah di malam hari, dan pusar mereka juga kembali normal seperti sedia kala.

Ketika menuliskan kisah ini saya adi teringat pada telpon seorang teman pria ketika ia baru mempunyai anak. "Ret, bagaimana ya kok anakku tampak merah beruntusan seperti orang kena biang keringat yang sangat banyak?" Saat itu sedang libur sehingga agak sulit mencari dokter anak yang praktek. Terus terang karena bukan dokter anak, saya hanya bisa memberikan bantuan terbatas dari buku-buku yang saya baca dan pengalaman pribadi dengan anak, tetapi supaya aman saya menyarankan dia membawa anaknya ke IGD saja. Ternyata kemudian saya ketahui bahwa anak itu terkena alergi udang. Sang ibu makan udang sebelum menyusui anaknya. Walaupun ibunya tidak alergi udang, ternyata anaknya alergi dan berakibat pada tampilan kulitnya yang memerah di sekujur tubuh.

Alergi itu memang merepotkan. Kalau orang dewasa bisa menceritakan apa yang dirasakannya, maka bayi hanya bisa menangis. Orang tua harus pintar-pintar membaca arti tangisan bayinya, menebak di mana sakit yang terasa, mengira-ngira makanan apa yang tidak cocok bagi bayi mereka.Beruntung bagi saya karena semakin besar kerentanan mereka terhadap susu sapi terlihat semakin berkurang.

Keterangan foto: Ray dengan bintik-bintik alerginya, akhirnya susu botol dihentikan total.

Friday 29 January 2010

Keajaiban Anak Kembar

Anak memang merupakan gambaran keajaiban dari Tuhan. Kehadiran mereka di dalam rahim saja sudah terasa begitu ajaib...seorang mahkluk hidup yang tergantung pada keberadaan sang ibu, yang ikut kemanapun ibunya pergi, yang merasakan apapun yang dikecap ibunya, bahkan juga ikut merasakan suasana batin sang bunda. Ajaib memikirkan betapa sebutir telur kecil berkembang membelah diri menjadi seorang bayi mungil yang montok dan lucu.
Kalau satu anak saja sudah terasa begitu ajaib, apalagi kehadiran dua bayi sekaligus...

Kehadiran anak kembar saya juga merupakan suatu kejutan. Bayangkan, awalnya dokter kandungan memanggil saya datang untuk konsultasi karena hasil tes yang kurang bagus (sepertinya ini skrining alpha fetoprotein plus yang dilakukan karena usia ibu ketika hamil sudah 35 tahun). "Kemungkinan anak anda Down Syndrome," kata suster yang menelpon, "Kita membutuhkan pemeriksaan lanjutan." Terbayang betapa terkejutnya saya mendengar berita itu? Tentu saja, rasanya benar-benar lemas dan tidak mampu berpikir. Dalam ajaran agama saya, janin sudah hidup sejak terjadi pembuahan. Sebagai orang yang selalu mendukung kehidupan (pro life bukan pro choice), mustahil untuk memikirkan kemungkinan mengakhiri kehamilan.

Suami yang pada kehamilan ke dua ini tidak lagi mengantar ke dokter kandungan, jadi ikut hadir dalam pertemuan berikut dengan dokter kandunganku. Suara jantung didengar, dan sang dokter membesarkan hati kami dengan mengatakan bahwa belum tentu janin kami Down Syndrom, ia akan memeriksa USG lebih teliti, kemudian bila diperlukan akan mengambil cairan plasenta (Amniocentesis) untuk pemeriksaan yang lebih lanjut.

Kejutan itu muncul ketika USG dilaksanakan dengan waktu yang cukup lama. Dokter bertanya apakah saya memiliki keturunan kembar dalam keluarga. Setahu saya tidak ada yang kembar. Saudara sepupu saya di Perancis memang Agustus tahun sebelumnya melahirkan anak kembar lelaki, tetapi saya mencurigai dokter kandungan di Perancis memberinya obat penyubur. Sepupu saya itu pernah kehilangan bayinya ketika sang buah hati belum genap berusia dua bulan, sehingga depresi yang timbul membuat dokter menyarankan agar ia segera memiliki anak lagi. Menurut mereka tidak ada penggunaan obat penyubur, tapi dalam keadaan bingung saya mengutarakan pikiran itu. Rupanya hasil tes saya yang menunjukkan angka tinggi (penanda Down Syndrome) terjadi karena ada dua janin di dalam perutku. Terbayang betapa kejutan yang satu berubah menjadi kejutan lain lagi?

Hah??? Kembar???? Saya dan suami tidak termasuk orang yang menginginkan anak kembar, apalagi kami sudah memiliki satu anak yang saat itu baru saja masuk sekolah. Wah, yang pertama terbayang adalah besarnya biaya yang harus kami sediakan sekaligus bila persalinan terpaksa harus melalui operasi. Bersyukur karena diagnosa Down Syndrome itu terbukti bukan perkiraan yang tepat, tetapi kaget juga tiba-tiba mendapat anugerah ganda.

Rupanya itulah penyebab rasa aneh yang kurasakan ketika duduk di lantai, juga rasa sesak yang terasa ketika tidur. Sebelumnya saya sempat bertanya pada dokter mengapa rasanya begitu pegal, tidak seperti kehamilan pertama saya. Apalagi saya juga tidak sanggup makan, semua makanan yang saya makan (kecuali buah mangga yang matang) pasti termuntahkan kembali. Ketika itu saya malah diomeli dokter. Saya disarankan untuk terus berpikiran positif, jangan cengeng, "Kasihan bayinya...," demikian kata dokter waktu itu. Ternyata jawabannya adalah kondisi bayi yang kembar. Hasil tes sangat tinggi menjadi wajar karena ada dua janin. Rasa pegal itu juga karena beban ganda yang harus saya bawa bersamaan.

Semakin besar usia kehamilan semakin sulit saya tidur, bukan hanya disebabkan oleh rasa sesak nafas dan sulit bergerak, tetapi juga karena kedua janin itu tidak berhenti bergumul di dalam perutku. Biasanya setelah punggungku dibalur minyak tawon yang hangat barulah mereka terdiam, tidur dengan nyenyak rupanya. Herannya setelah lahir, mereka masih juga suka bergumul...ada saja hal yang mereka pertengkarkan, belum lagi rasa iri atas perhatian mamanya pada kembarannya. Mungkinkah hal itu karena harus berbagi ruang sempit di dalam perutku selama tiga puluh enam minggu?

Mereka memang terlahir lebih cepat dari yang diinginkan dokter. Awalnya saya merasakan rembesan air ketuban ketika kelelahan menemani anak sulungku merayakan Tujuh Belas Agustus di sekolahnya, lalu merayakan ulang tahun keponakan dari suami sehari sesudah peringatan Tujuh Belas Agustus. Tapi ternyata ketika itu kondisi kandungan menurut dokter aman-aman saja. Tanggal 5 Oktober saya tiba-tiba melihat sedikit cairan memerah di celana...pendarahan. Mengingat anak pertama dahulu lahirnya masih sangat lama dari bukaan pertama, saya sempat santai dan masih bermaksud menemani anak sulung saya ke pesta ulang tahun. Hanya saja, ibu saya sudah mengomel dan memberikan perintah kepada sang menantu untuk segera membawa anaknya ke dokter. Dan jadilah saya diminta beristirahat total di tempat tidur Rumah Bersalin.

Aku lelah sudah empat hari tidur melulu, tidak boleh bangun sama sekali dari tempat tidur. Selama tiga hari diberi suntikan kortison agar menguatkan paru-paru bayi supaya mereka sudah siap bila harus lahir prematur. Setiap hari saya melahap coklat Silver Queen agar berat badan bayi yang lewat deteksi USG baru memiliki berat badan di bawah 2 kg, kalau tidak salah 1,6 kg dan 1,8 kg. Hari ke lima saya mulai berasa kurang enak, maklum risih rasanya BAB di tempat tidur, jadi selama lima hari itu saya tidak sanggup BAB. Tapi perut menjadi mulas. Saya minta izin dokter untuk turun ke WC, karena rasanya memang tidak sanggup harus BAB di tempat tidur. Ketika izin diberikan, dengan ditunggui suster di depan pintu, saya berhasil BAB. Tapi rasanya masih belum tuntas...Dasar bandel, tanpa minta izin... apalagi minta ditemani, saya membawa tiang infus saya sendirian ke kamar mandi. Mencoba lagi...Tidak berhasil...

Rupanya itulah awal dari dorongan pembukaan untuk kelahiran bayi-bayiku. Setelah itu saya mulai merasa ingin buang air kecil (BAK) setiap lima belas menit, semakin lama semakin terasa cepat, lima menit sekali...sampai akhirnya suster jaga melihat bahwa sudah saatnya saya dibawa ke ruang Kala II, yaitu ruang untuk menunggu persalinan. Ketika itu kurang lebih pukul 02.00 pagi. Awalnya dokter masih menginginkan saya menambah istirahat sedikitnya 2 minggu lagi agar mencapai usia janin 38 minggu, tapi ternyata benar-benar tidak bisa ditahan lagi.

Saat akan melahirkan, air ketuban sudah dipecahkan dokter...bukaan sepuluh sudah lama terjadi, tetapi anak-anak itu tersangkut di lubang lahir. Keduanya ingin lahir bersamaan, tidak seorangpun yang mau mengalah sehingga terjadi adu kepala. Dokter sudah angkat tangan dan meminta izin operasi. Kebetulan saat itu suami saya tidak ada di tempat. Menunggu sejak pagi tanpa perkembangan membuat dia gelisah, dan mendengar bahwa dokter menginginkan saya menunggu paling tidak dua minggu lagi, membuat dia minta izin kepada ibuku untuk pergi menghadiri sebuah rapat di proyek yang sedang dikerjakannya. Ketika dokter minta ibuku menanda-tangani izin operasi, ibuku menjadi sedikit panik dan sempat mengatakan ingin menunggu suamiku. Tapi ia segera tersadar dan menanda-tangani surat izin keluarga itu. Kejadian ini sempat memperpanjang waktu persiapan ruang operasi dan menghubungi dokter spesialis anastesi. Perpanjangan waktu yang tidak lama itu rupanya memberikan kesempatan bagi kedua janin di perut saya untuk memperbaiki posisi. Setelah saya berdoa mohon bantuan Tuhan untuk bisa menghindari operasi (terus terang saya takut sekali dioperasi), saya lalu meminta mereka bersiasat agar bisa keluar. Yang badannya lebih besar saya minta mengalah, sementara yang lebih kecil badannya saya minta mencoba keluar lebih dahulu.

Bayi pertama yang lebih kecil, dua koma empat kilogram, muncul terlebih dahulu. Bidan yang melihatnya berteriak memanggil dokter dan membatalkan persiapan operasi. Dibantu dengan alat penyedot bayi kembar pertamaku lahir. Kepalanya agak sedikit benjol untuk beberapa waktu lamanya. Kemudian selang waktu lima menit keluarlah bayi kedua yang berat badannya ternyata dua koma enam kilogram. Kemudian sekali lagi harus mengejan untuk mengeluarkan plasenta yang menurut dokter hanya satu karena keduanya adalah bayi kembar identik. Anak-anakku lelaki lagi...

Menurut yang menjengukku sesaat sebelum proses lahiran berlangsung, wajahku menghitam. Entahlah, satu hal lain yang sangat ajaib bagiku adalah kenyataan bahwa rasa sakit ketika melahirkan itu selalu tertutup oleh bahagia menyaksikan buah hati yang lahir selamat tanpa cacat apapun.

Setiap kehamilan rupanya bisa berbeda masalahnya. Bahkan untuk urusan kenaikan berat badanpun tidak selalu harus sama. Ketika hamil anak pertama yang lahir seberat tiga koma tiga kilogram, aku hanya menambah timbangan sekitar 11 kilogram. Sementara ketika hamil sikembar aku menambah beban cuma 13 kilogram.

Beruntung semuanya berjalan baik, si kecil hanya sempat sedikit kuning sehingga harus disinar agar mengurangi kadar bilirubinnya. Episode baru yang menanti adalah belajar memberi ASI kepada keduanya secara bersamaan. Menyusui satu demi satu tampaknya agak sulit, ketika yang satu belum lagi kenyang bayi kembarannya sudah menangis melengking putus asa kehausan. Alhasil saya berupaya untuk menjalankan teori menyusui anak kembar secara bersamaan, satu di kiri, dan satu lagi di kanan. Kini setelah semua itu berlalu, rasanya sungguh ajaib bisa melaksanakannya sendirian.

Hidup memang penuh keajaiban.

Saturday 23 January 2010

Bayi dan bahasanya

Beberapa waktu lalu tampaknya ibu-ibu Indonesia cukup heboh dengan kehadiran Dunstan baby language, hasil temuan seorang wanita bernama Priscilla Dunstan, yang terangkat berkat acara televisi Oprah Winfrey.

Tiba-tiba ramai dibicarakan orang mengenai bahasa bayi, dan cara mempelajarinya. Berbagai macam buku dan video bisa dibeli untuk mempelajari bahasa bayi yang katanya universal itu.

Menurut saya, sebenarnya bahasa bayi tidak perlu sesusah itu dipelajari, cukup sang ibu lebih teliti menangkap tanda-tanda dari bayinya, secara otomatis "bahasa bayi" tadi jadi bermakna.

Menurut wikipedia, pengenalan bahasa bayi dari Dunstan belum teruji secara ilmiah, tetapi tampaknya secara usaha langsung dibagikan kepada pasar. Ada lima suara bayi yang menurut teori Dunstan berlaku universal yaitu:
Neh : saya lapar
Owh : saya mengantuk
Heh : saya merasa tidak nyaman
Eairh : saya kembung, banyak angin di perut
Eh : saya kembung, ingin sendawa

Unik juga bahwa Priscilla Dunstan mau berlelah-lelah mempelajari suara bayi lainnya sehingga menghasilkan teori "bahasa bayi Dunstan" yang sekarang kabarnya menjadi usaha mantan suaminya.

Anak pertama saya termasuk anak yang cerdas berbahasa (pada waktu bayi, heran juga bahwa dia sekarang tidak terlalu pandai berekspresi secara lisan maupun tulisan). Dia sangat cepat mengerti perkataan, dan memiliki ekspresi tersendiri dengan keinginannya. Terus terang saya tidak mencatat apakah ia menggunakan lima ekspresi yang disebut-sebut oleh Dunstan. Tentu saja "owh" adalah ekspresi mengantuk yang kita orang dewasa juga kenal, tapi selain itu saya kurang memperhatikannya. Mungkin juga saya perlu membuka kembali catatan harian saya untuk bayi pertama saya. Maklum anak pertama, saya masih rajin mencatat dan membuat album foto.

Ada satu bahasa bayi yang sangat khas dari anak pertama saya, sehingga lama-lama orang lain juga ikut mengenalinya..."ging", terkadang terdengar sebagai "nggingg..." yang artinya dia minta susu. Suara ini hanya khusus terdengar saat dia ingin susu. Saat lapar dan ingin makan biskuit tidak pernah terdengar kata "ging". Tapi, rasanya itu adalah satu-satunya bahasa bayinya yang kucatat.

Bagi orang lain, anak pertamaku mungkin agak terlambat bicara, paling tidak terlambat untuk ukuran pengertian orang lain. Bagi saya dan anak saya, tidak ada kesan terlambat, karena saya mengerti saja apa yang ingin dikatakannya walaupun bagi orang lain ucapannya masih termasuk ocehan bayi (babbling).

Sempat bingung juga bila dia terlambat bicara karena bingung bahasa. Maklum, sejak dalam kandungan dia sudah menjadi korban eksperimen ibunya. Dari musik Mozart, Tchaikovsky, sampai lagu Perancis Anggun C Sasmi menjadi menu harian sang janin. Buku bacaan kubacakan termasuk "Matilda" (karya Roald Dahl) yang kudengarkan kasetnya dalam bahasa Perancis. Alhasil setelah agak besar yang muncul pertama kali adalah penolakan terhadap bahasa Inggris dan bahasa Perancis. "Mama, boleh aku belajar bahasa Spanyol? Aku sudah bisa uno, dos, tres,...," demikian pintanya sambil mengeja angka dalam bahasa Spanyol dari satu, dua, tiga, hingga angka sepuluh. Sumbernya kemungkinan sekali adalah VCD Dora the Explorer yang sebenarnya kubelikan dalam bahasa Inggris, tapi memang Dora memasukkan pelajaran bahasa Spanyol dalam filmnya.

Herannya juga, anakku ini tidak termasuk anak yang suka dibacakan cerita ketika masih kecil, tapi sekarang ketika menjelang remaja tampaknya ia cukup senang membaca (walaupun bukan buku tebal seperti Harry Potter). Ia tidak cukup diam untuk dipangku dan dibacakan cerita. Sebuah buku tentang Dumbo menjadi korban robekan tangan mungilnya yang tidak bisa diam.

Yang paling menyenangkan adalah efek musik yang cukup terasa. Bila dia rewel maka musik cukup bisa menenangkannya. Meskipun dia tidak bisa diam, tetapi dia cukup mampu untuk ditinggal bermain sendirian di dalam tempat bermain yang khusus dibuatkan untuknya.

Ketika awal memasuki masa bicara (walaupun dianggap belum jelas) dia kesulitan mengucapkan awalan. Setiap kata merupakan perulangan kata. Jadilah mama dan oma, serta papa dan opa hanya berbunyi "Ma-ma" dan "Pa-pa". Karena papanya agak jarang berada bersamaan dengan opa, maka kata "opa" menjadi "papa" tidak terlalu bermasalah, sementara untuk membedakan antara mama dan oma perlu sebuah kiat khusus. Jadilah ia diperkenalkan dengan panggilan "nenek" yang juga mirip dengan perulangan "ne-ne". Dan akhirnya semua generasi cucu memanggil ibuku dengan sebutan "nenek", sementara sang kakek tetap mendapat panggilan "opa".

Kembali ke soal bahasa bayi...Menurut saya, tidak perlu secara khusus mempelajari bahasa bayi, entah benar-benar universal atau tidak, yang perlu adalah mempelajari bahasa bayi yang dikeluarkan bayi kita sendiri. Catat saja setiap kali ia mengeluarkan perkataan yang tampaknya bermakna atau berulang. Awalnya saya pikir kata "ging" itu timbul karena adanya respon terhadap keinginannya, sehingga "kata" tersebut dibakukan dalam perbendaharaan bahasa bayinya.

Pada si kembar terus terang agak sulit bagi saya untuk mengenali bahasa bayi mereka. Mungkin kelelahan fisik, ditambah usia yang tidak terlalu muda lagi (35 tahun) apalagi setiap malam harus mengurus dua bayi seorang diri, membuat kepekaan dan kesabaranku untuk mengenali bahasa mereka agak kurang.

Tapi, sepandai apapun saya mengenali suara bayi tetap saja ketika mereka rewel karena sakit biasanya saya juga menjadi serba salah, dan lebih sering salah mengartikan keinginan mereka sehingga berakhir dengan tangisan yang semakin keras.