Tuesday 2 February 2010

Bayi dan Alergi


Aku sendiri memiliki alergi, kalau sedang stress biasanya alergiku muncul. Menjelang wisuda dan menjelang pernikahan biduran tiba-tiba menjadi kawan setia. Pada saat wisuda malah saya hadir dengan bedak tebal riasan pengantin karena separuh wajah bagai terbakar karena alergi obat. Biasanya saya tidak pernah alergi obat, tapi waktu itu malah terkena alergi pada obat yang diberikan dokter kulit ketika biduran menyerang selepas persiapan ujian akhir di universitas. Kalau biasanya aku hanya gatal bila terkena benda logam, bila memakai pakaian sutra atau pakaian yang agak lama dibiarkan di lemari, maka kala itu semua hal menjadi pemicu alergiku. Terkena air hujan aku bentol-bentol, makan frozen yoghurt aku juga bengkak, aduh benar-benar serba salah. Begitu juga yang terjadi pada saat aku akan menikah.

Tidak disangka anak-anakku rupanya menerima garis keturunan alergi dariku (bahkan mungkin juga ada yang dari garis ayahnya juga). Anak pertama sangat rentan terhadap buah-buahan. Ketika waktunya dia mulai makan buah, saya agak kesulitan. Makan pisang masih lancar, tapi pepaya dan melon tidak bisa diberikan. Selain bibirnya biasa membengkak, ia juga menjadi diare berat. Biaya berobat menjadi sangat besar untuk bayi yang rentan alergi. Bayi pertamaku ini seringkali memerah pipinya, kemudian hari baru kuketahui bahwa kemungkinan hal itu karena ia alergi susu sapi. Alergi susu sapi pada anak ini tidak sempat terekam karena dia memang lebih suka ASI daripada susu formula, sampai suatu hari ia mogok total meminum susu formula. Karena saat itu saya sudah berhenti bekerja, dan mungkin makanan dan minuman tambahan untuknya sudah cukup maka susu formula saya hentikan saja. Berkaleng-kaleng susu yang sudah saya stok (karena ia lahir tahun 1998 saat krismon, sehingga begitu mendengar harga susu akan naik saya segera membeli persediaan susu) terpaksa saya jual murah kepada orang lain yang membutuhkannya.

Kalau si sulung alergi susu sapi tapi tidak terdeteksi, maka si kembar lain lagi kisahnya. Dari kecil mereka sakit melulu. Inhalasi sudah menjadi langganan bagi anak-anak ini, bahkan pada usia tujuh bulan satu dari mereka harus masuk Rumah Sakit selama beberapa hari.

Awalnya alergi susu mereka tidak mencolok, mungkin karena mereka minum ASI. Tetapi kemudian rasanya ASI ekslusif tidak bisa diterapkan pada kedua anak ini, perlu tambahan susu formula. Mulailah permasalahan timbul. Awalnya saya agak heran mengapa mereka tidak pernah bisa tidur dengan tenang, selalu saja menggeliat-geliat gelisah. Kalau kakak sulung mereka dulu ketika bayi suka beringsut ke atas, diletakkan di bagian bawah boks sebentar saja sudah menangis karena kepalanya terbentur bagian atas boks. Waktu itu ilmu gampangnya ya membawa sang bayi tidur bersama ibunya. Hanya saja ilmu ini agak sulit dilaksanakan kepada si kembar. Bagaimana membawa dua bayi ke tempat tidur? Sisi tempat tidur mana yang harus dijaga untuk mencegah mereka jatuh? Selain itu mereka hampir selalu muntah ketika tertidur sesudah menyusu. Buang air besar (BAB) juga merupakan proses yang tampak menyakitkan buat mereka. Tapi mengganti jenis susu formula penambah ASI tidak juga membantu.

Yang agak mengesalkan saya adalah tanggapan sokter spesialis anak yang saya beri laporan mengenai keadaan tersebut. Saya diberi nasehat bahwa bayi menggeliat-geliat di saat tidur itu biasa... kata dokter itu namanya olah raga bayi. Kemudian muntah di tengah tidur yang cukup deras memancur ke luar itu merupakan kesalahan saya karena tidak cukup menyendawakan sang anak. Rasanya saya kenal tipe gumoh yang normal, tetapi karena merasa beliau seorang dokter anak yang cukup terkenal, saya hanya bisa heran di dalam hati. Begitu pula mengenai BAB yang keras, dinasehati menambah air putih ya saya laksanakan saja, padahal sebelumnya juga sudah cukup minum air putihnya.

Walaupun sudah lebih memperhatikan lagi proses sendawa setelah menyusu, tetap saja gumoh yang berlebihan itu berlangsung. Bahkan akhirnya mereka berdua terkena hernia umbicalis. Ususnya mencoba keluar melalui lubang bekas tali pusar. Ketika itu saya diminta membeli tali pengikat pinggang untuk menahan tekanan usus pada pusar. Harganya lumayan mahal, apalagi untuk dua orang anak. Tetapi alih-alih sembuh yang ada malah pinggang mereka lecet semua. Terbayang betapa perihnya terasa di kulit halus mereka. Akhirnya saya tidak tahan dan pindah ke dokter spesialis anak yang dulu menangani anak sulungku. Sambil memperlihatkan tonjolan di pusar dan lecet-lecet di kulit mereka akibat penahan pusar dari dokter yang lama, saya juga menumpahkan unek-unek masalah lama yang senantiasa dipersalahkan kepada saya sebagai ibu mereka. Tidak diduga dokter senior ini mengatakan bahwa anak kembar saya alergi susu sapi, sebaiknya mengganti susu sapi dengan soya. Sementara untuk masalah tonjolan pusar malah diberikan ilmu tradisional, yaitu uang logam seratus rupiah yang dicuci bersih lalu dibungkus dengan kasa steril, setelah itu tonjolan pusar sedikit ditekan ke dalam dan di atasnya diletakkan uang logam berbungkus kasa steril tersebut yang lalu diplester dengan plester 3M yang lembut. Ternyata cara ini sangat ampuh, murah tapi manjur....

Hanya saja susu soya tidak membantu, selain mereka menolak susu tersebut tetap saja geliat gelisah dan muntah di antara tidur mereka masih terus berlangsung walau tidak sedashyat ketika meminum susu sapi. Karena itu dokter anak meminta saya mengganti susu dengan NAN HA yang hypoallergenic. Awalnya sempat bingung karena mereka masih muntah walaupun tidak sesering dan sehebat dahulu. Setelah diperiksa ternyata mereka masih menerima asupan susu sapi dari ASI karena saya masih minum susu untuk ibu menyusui. Setelah benar-benar menihilkan konsumsi susu sapi yang bukan hypoallergenic barulah mereka berhenti muntah, berhenti menggeliat gelisah di malam hari, dan pusar mereka juga kembali normal seperti sedia kala.

Ketika menuliskan kisah ini saya adi teringat pada telpon seorang teman pria ketika ia baru mempunyai anak. "Ret, bagaimana ya kok anakku tampak merah beruntusan seperti orang kena biang keringat yang sangat banyak?" Saat itu sedang libur sehingga agak sulit mencari dokter anak yang praktek. Terus terang karena bukan dokter anak, saya hanya bisa memberikan bantuan terbatas dari buku-buku yang saya baca dan pengalaman pribadi dengan anak, tetapi supaya aman saya menyarankan dia membawa anaknya ke IGD saja. Ternyata kemudian saya ketahui bahwa anak itu terkena alergi udang. Sang ibu makan udang sebelum menyusui anaknya. Walaupun ibunya tidak alergi udang, ternyata anaknya alergi dan berakibat pada tampilan kulitnya yang memerah di sekujur tubuh.

Alergi itu memang merepotkan. Kalau orang dewasa bisa menceritakan apa yang dirasakannya, maka bayi hanya bisa menangis. Orang tua harus pintar-pintar membaca arti tangisan bayinya, menebak di mana sakit yang terasa, mengira-ngira makanan apa yang tidak cocok bagi bayi mereka.Beruntung bagi saya karena semakin besar kerentanan mereka terhadap susu sapi terlihat semakin berkurang.

Keterangan foto: Ray dengan bintik-bintik alerginya, akhirnya susu botol dihentikan total.