Saturday 2 May 2015

Waktu

Waktu adalah hadiah dari Tuhan. Tapi, waktu juga perlu dinikmati sebelum ia segera berlalu. Tidak terasa anak-anak sudah menjadi besar dan punya jadwal mereka sendiri.

Ketika mereka masih kecil, anak-anak selalu ingin ikut orangtuanya...kemanapun orangtua pergi, mereka ingin ikut. Setelah agak besar, mereka mulai memilih. Bila cukup menyenangkan, mereka mau ikut...bila terkesan membosankan, mereka tidak mau ikut.

Setelah besar, kira-kira usia SMA, mulai deh jadwal mereka berbeda drastis... Buat janji dengan teman tanpa konsultasi dengan jadwal orangtuanya.

Bijaksana membagi waktu adalah bagian pembelajaran terpenting sebagai orangtua. Bagaimana memberi waktu bagi keluarga,  menyediakan waktu bagi setiap anak, bagi pasangan, bagi lingkungan dan komunitas, serta meyisakan waktu untuk pengembangan diri sendiri.

Sudahkah anda membagi waktu dengan bijaksana?

Saturday 30 November 2013

Rumah Adalah Tempat Hati Berada

Dalam bahasa Indonesia, kata 'rumah' mewakili semua arti dari rumah, bisa sebagai sebuah benda untuk tinggal (house) dan bisa juga untuk menggambarkan sebagai tempat tujuan kita pulang (home). Ketika menulis "Rumahku Adalah Investasiku" di wikimu.com, saya tidak bermaksud mengecilkan arti rumah sebagai tempat tujuan untuk pulang. Ketika memutuskan untuk membeli rumah, sebenarnya tujuan pertama saya adalah untuk memiliki tempat berkumpul bersama keluarga, tempat yang menjadi rumah tempat kami kembali setelah bekerja dan berkelana. Ya, rumah adalah tempat dimana hati berada.

Ketika pertama kali tinggal di Serpong, saya masih ingat sering merasa janggal mendengar tetangga saya berkata, "Saya mau ke Jakarta hari ini..." "Halooo...memangnya kita tinggal di mana?" demikian saya membatin, tidak terucap karena menjaga sopan santun. Ternyata setelah beberapa tahun tinggal di BSD saya juga mulai membedakan Serpong dengan Jakarta sebagai bagian yang terpisah. Ya iyalah...Serpong itu kan bagian dari Tangerang Selatan, Propinsi Banten, sementara Jakarta itu Daerah Khusus Ibu Kota. "Saya jarang ke Jakarta, hampir semua kegiatan saya lakukan di sekitar rumah," itu adalah perkataan saya yang sudah menjadikan Serpong sebagai rumah saya, dan membuat teman-teman saya gantian menertawakan saya.

Sekarang, setelah tiga belas tahun tinggal di BSD, tempat ini sudah menjadi 'rumah' bagi saya. Yang saya miliki bukan hanya rumah tempat saya tinggal dan melihat pertumbuhan anak-anak saya, melainkan secara keseluruhan saya memiliki komunitas di tempat ini. Komunitas-komunitas yang menunjang pengembangan diri saya dan keluarga. Komunitas-komunitas yang menjadi keluarga baru yang saling berbagi dan saling memperhatikan.

Anak-anak yang bersekolah dalam jarak tempuh yang relatif dekat membantu saya untuk tidak stress di jalan. Ketika saya bekerja paruh waktu, saya juga mendapatkan pekerjaan yang dekat dengan rumah. Bahkan ketika saya memutuskan untuk bekerja secara penuh, saya juga memilih untuk bekerja tidak jauh dari rumah. Sebenarnya sempat terpikir untuk kembali bekerja sebagai arsitek karena pembangunan di daerah Serpong yang begitu pesat, tetapi di lain pihak saya menemukan panggilan melayani di bidang pendidikan. Pilihan ini selain memungkinkan saya untuk memiliki waktu libur yang sama dengan anak-anak, juga dimungkinkan karena cukup banyaknya pilihan sekolah di daerah BSD.

Dari segi tempat rekreasi seperti mal, kolam renang, lapangan golf, taman kota, BSD boleh dianggap cukup lengkap. Nama Daan Mogot yang tadinya hanya saya kenali sebagai nama jalan menjadi lebih jelas eksistensinya sebagai pahlawan nasional karena keberadaan Monumen Lengkong. Sarana untuk konser atau pertunjukan kesenian yang cukup serius tampaknya masih menjadi kebutuhan untuk daerah Serpong terutama BSD. Tentu saja ada alternatif tempat seperti Balai Pertemuan Puspitek, tetapi kapasitas dan kualitasnya untuk pertunjukan masih kurang memadai. Tampaknya gedung teater Sinar Mas World Academy cukup memadai untuk konser atau pertunjukan skala kecil, tetapi mungkin juga tidak disewakan atau biaya sewanya cukup tinggi.

Anak tertua saya yang ketika pindah ke BSD baru berusia dua tahun, kini sudah remaja yang duduk di bangku SMA. Kini, ia seringkali tidak ingin lagi ikut acara kami ke Jakarta karena sudah punya janji dengan teman-temannya, entah janjian di Teras Kota, atau di rumah salah seorang temannya. BSD City sudah menjadi rumah tempatnya bertumbuh, tempat kami sekeluarga kembali ke rumah.





Saturday 26 January 2013

Hati-hati di Tangga Berjalan


Ini bagian sandal yang termakan 'monster' escalator. Demikian anakku merujuk pada tangga berjalan yang memakan ujung sandalnya. Beruntung bahwa kakinya tidak ikut ter'makan'.

Peristiwa itu terjadi begitu cepat dan tak terduga. Sebenarnya larangan untuk bermain di tangga berjalan, serta imbauan untuk berhati-hati bagi para pemakai sandal tercetak cukup jelas, Tetapi biasanya anak-anak sulit untuk dilarang. Sudah sering sekali saya menegur mereka untuk tidak bercanda di tangga berjalan, tetapi tidak digubris.

Sebenarnya waktu itu mereka tidak sedang bercanda, hanya saja posisi kakinya terlalu maju, menyentuh garis kuning. Rupanya hal tersebut berbahaya bagi model sandal yang bahannya seperti di gambar ini. Sedotannya cukup kuat sehingga saya sempat takut bahwa jari kakinya ikut tertarik, ataupun ia terjatuh karena kejutan tersedot itu.

Kejadian ini cukup ampuh membuat mereka lebih berhati-hati saat berjalan-jalan di mal. Sesekali masih berlarian berkejaran di moving sidewalk, mesin berjalan yang merupakan model lain escalator yang merupakan gabungan ide escalator dengan conveyer belt. Tampaknya perjalanan sejarah escalator yang cukup panjang sejak mesin cukal bakalnya dipatenkan tahun 1859 oleh Nathan Ames tapi tidak pernah direalisasikan. Baru pada tahun 1891 dibuat oleh Jesse Reno dan dipatenkan pada tahun 1892.

Tidak salah kalau dikatakan bahwa 'Pengalaman adalah guru yang terbaik' karena dengan pengalaman kali ini tampaknya anak-anak menjadi lebih perhatian pada keselamatan mereka. Untunglah pengalaman mereka berbuah hasil yang baik, tidak sampai menjadi musibah yang lebih fatal. Tapi lebih baik berhati-hati sebelum terjadi kecelakaan yang membahayakan.

Saturday 6 August 2011

Mengenal Otak Karena Kopdar

Kopdar dengan penulis dan pembaca Twilight Express (TE) membuat saya penasaran dengan dominasi otak. Kenapa? Karena selama ini yang saya pernah dengar adalah teori bahwa meletakkan tangan dalam posisi kedua tangan bersatu (seperti berdoa), bila ibu jari tangan kanan di sebelah atas berarti ada dominasi otak kanan. Dan saya percaya bahwa saya ini cenderung dominan di otak kanan karena saya lebih suka pakai perasaan daripada logika matematis, lebih suka melihat gambaran besar daripada menyimak detail, lebih jago visual dan spasial daripada menghitung. Tiba-tiba dalam acara Kopdar TE itu ada yang mengajukan teori yang terbalik, katanya kalau ibu jari tangan kanan yang di atas maka dominan di otak kiri...Nah lho!

Sebenarnya sejak mendengar soal dominasi otak itu saya sudah membiasakan diri memakai tangan kanan dan tangan kiri bergantian di atas. Katanya sih bisa untuk menyeimbangkan penggunaan otak. Terus terang ini sih tanpa pembuktian ilmiah, jadi sekedar coba-coba saja. Kalau anak-anak saya dari janin sudah dicekoki musiknya Mozart (tapi ibunya lebih suka Tchaikovsky dan Beethoven sebenarnya, jadi nggak melulu Mozart. Malah ada juga lagu Snow on Sahara dari Anggun C. Sasmi yang ikutan jadi lagu penggugah otak janinku hehehe....). Bahwa kemudian terkadang dikenalkan dengan Brain Gym, yang katanya membantu menyelaraskan penggunaan otak kiri dan otak kanan, itu sekedar bagian dari usaha....

Kebetulan suami saya meletakkan ibu jari kirinya di atas ibu jari kanan, dan menurut saya dia lebih jago dengan kemampuan otak kiri yang matematis, lebih rapih daripada saya yang rada berantakan (katanya ini juga penanda). Begitu juga anak-anak saya menurut pandangan saya sesuai dengan tes dominansi otak versi yang saya ketahui (padahal salah hahaha....), jadilah saya benar-benar penasaran dengan versi yang benar.

Hari ini baru sempat menelusuri om gugel. Itupun karena batal reuni dengan teman-teman SMA dulu gara-gara perut sedang tidak beres. Ternyata memang sebagian besar artikel membenarkan teori ibu jari tangan kanan di atas ibu jari tangan kiri berarti dominasi otak kiri. Rasa penasaran membuat saya menemukan artikel dari The Herald Sun Australia.


Nah, setelah melihat gambar wanita yang berputar itu, ke arah manakah ia berputar? Searah jarum jam atau berlawanan arah dengan jarum jam? Kalau anda melihatnya searah dengan jarum jam maka anda lebih dominan dalam pemakaian otak kanan. Kalau melihatnya berlawanan arah dengan jarum jam berarti lebih dominan pemakaian otak kiri. Hehehe....ternyata sebelum tahu makna putaran itu saya melihatnya searah jarum jam, setelah mengetahui artinya saya mampu melihatnya terbalik.

Jadi, sebenarnya saya tuh dominan otak kanan atau otak kiri sih? Masih belum puas dengan hasil gugel sebelumnya, saya mencari lagi....

Eh, ketemu blog www.ahlidesain.com. Nah isinya menarik juga untuk disimak, ia menggunakan dua contoh tes. Yang pertama adalah tes ibu jari yang tadi saya jelaskan di atas. Yang ke dua adalah tes dengan lengan bawah. Bila kita meletakkan lengan bawah kanan di atas lengan bawah kiri maka otak yang dominan adalah otak kanan. Menariknya, ia menyampaikan bahasan yang mengatakan bahwa sebenarnya manusia bisa memiliki kombinasi-kombinasi tertentu. Blog ahli desain ini menggunakan gambar peraga yang sangat jelas (walaupun ada keterangan gambar yang membuat teori awal ibu jariku yang benar, terbalik dengan keterangannya di dalam artikel) . Kemudian dari hasil tes ibu jari dan tes lengan dijadikannya empat kategori:

I. Kombinasi Kanan dan Kiri: Penuh pertimbangan, tradisional, tipe tidak langsung II. Kombinasi Kanan dan Kanan: Suka tantangan dan tidak suka basa-basi (tipe langsung)
III. Kombinasi Kiri dan Kiri:
Berdedikasi tinggi, dingin dan perfeksionis
IV. Kombinasi Kiri dan Kanan:
Suka peduli pada orang lain dan tipe pemimpin

Sayangnya pemilik blog ini tidak menyebutkan sumber asal ilmunya (apakah dari buku Awaken the Giant Within atau bukan, kurang jelas disebutkannya), sehingga belum bisa juga dipastikan kebenarannya. Tetapi sebenarnya metoda yang ini lebih bisa menjawab kebingunganku daripada tes ibu jari yang menghasilkan jawaban bahwa otak dominanku adalah otak kiri. Ketika membaca lebih detail rincian ciri khas dari setiap kombinasi sebenarnya saya lebih suka percaya bahwa saya kombinasi kanan dan kiri, walau sebenarnya hasil tes saya terbalik di ibu jari saya menunjukkan dominasi otak kiri, di lengan saya lebih ke dominasi yang kanan. Jadi saya masuk dalam kategori IV. Karena kebetulan asal pendidikan saya juga desain, maka agak terkejut juga membaca kutipan ini untuk kategori ke IV:
Wah, kalau tipe yang satu ini bagaimana ya saya menjabarkannya… Mereka suka sesuatu yang berbau observasi dan penelitian. Seperti juga kita pahami, dalam bidang komunikasi visual kita akan bergelut dengan hal-hal yang semacam itu. Namun, agak kurang bisa untuk berimajinasi. Mereka mendefinisikan sesuatu berdasarkan prinsip dan konsep. Ketika mereka akan menjabarkan hasil konsep dari observasi, mereka kurang bisa mengolahnya dalam bentuk visual. Seperti layaknya kita tahu akan suatu hal, sepertinya dekat sekali, namun susah untuk diungkapkan dalam kata-kata.
Nah itu dia, saya itu paling jago konsep dan suka observasi dan penelitian, tapi giliran visualisasi saya lebih suka yang sederhana (makanya suka banget sama konsep Louis Kahn yang sederhana tapi bermain dengan cahaya) karena sebenarnya saya sulit membuat visualisasi yang penuh imajinasi tapi tetap fungsional. Sebenarnya saya lebih suka pada desain-desain Alvar Aalto, yang sisi geometrisnya tidak sekaku Louis Kahn, dan semua desainnya tetap fungsional, hanya saja untuk desain-desain seperti itu sebenarnya dibutuhkan perhitungan yang detail. Karena tidak pernah menggarap bangunan besar, jadinya ya tidak tahu juga bagaimana sebenarnya kreativitas otakku kalau dipaksa berhadapan dengan desain bangunan besar.

Kembali ke laptop...maksudku kembali ke masalah otak, yang penting sebenarnya bukan bagaimana kecenderungan dominasi otakku, ataupun pengaruhnya pada pekerjaan desain (karena sekarang toh saya nggak pegang desain apapun lagi hehehe...). Tapi, yang menarik adalah bagaimana menyelaraskan pola dominasi otakku dengan pola dominasi otak suami dan anak-anakku. Benturan-benturan kecil yang sering terjadi adalah akibat dari perbedaan sudut pandang. Coba saja lihat kembali gambar wanita yang berputar di atas, seringkali ketika kita sudah tahu ada sudut pandang yang berbeda maka kita menjadi mampu untuk melihatnya dari sudut pandang yang lain itu.

Sejak punya anak memang kerja otak menjadi sangat menarik bagiku. Bagaimana neuron-neuron itu bersambung melalui sinaps, bagaimana si kecil bisa menjadi seperti spons yang menyerap bahasa dari lingkungan sekitarnya merupakan keajaiban bagiku. Belum lagi masalah-masalah seperti Learning Disabilities, maupun masalah Autism merupakan topik yang menarik yang senantiasa berhubungan dengan otak.

Ibu Enny, yang menulis di blog Edratna jeli mengenali ketertarikanku pada topik otak. Kebetulan memang topik otak di kopdar itu membuat saya tertarik, dan agak menyesal tidak mempunyai blog berbahasa Indonesia. Jadilah blog Buah Hati yang seharusnya hanya untuk konsumsi pribadi dengan topik utama anak dan keluarga, akan kugunakan untuk blog umum dengan topik anak, keluarga, dan pendidikan. Sekali-kali melebar sedikit ke keluarga blogger, dan pendidikan lewat dunia maya hehehe.....

Wednesday 26 January 2011

Belajar dari Luar Ruang Kelas

Satu hal yang menyenangkan dalam pilihan untuk tidak mengejar karier adalah kesempatan untuk melihat anak-anak bertumbuh dan mengisi hari-harinya. Terus terang kondisi jalanan Jakarta yang macet parah membuat keputusan untuk tidak bekerja menjadi seperti keharusan. Terkadang pekerjaan paruh waktu tidak selamanya sungguh-sungguh paruh waktu. Janji bertemu dengan pemilik rumah yang ingin konsultasi desain tidak selalu bisa ditentukan dekat dengan rumah. Kemacetan Jakarta membuat janji yang hanya satu atau dua jam menghabiskan setengah atau bahkan satu hari saya. Karena itu, mencoba fokus kepada pertumbuhan anak-anak merupakan hal yang tampaknya lebih berharga.

Ketika anak-anak masih di Kelompok Bermain dan Taman Kanak-kanak, saya bahkan bisa ikut serta dalam kegiatan mereka di luar kelas. Banyak pengalaman menarik yang mereka alami dalam perjalanan ke luar sekolah. Terkadang pengalaman itupun bukan hal yang biasa bagi saya sendiri. Bayangkan kami pernah mengunjungi Dinas Pemadam Kebakaran, pernah menemani mereka masuk ke ruang masinis kereta api, berkunjung ke panti wreda dan panti asuhan, dan masih banyak lagi kegiatan lainnya.

Pembelajaran dari luar kelas menurut saya sangat penting. Hal ini terutama karena pembelajaran yang saya terima melalui kegiatan pramuka dan PMR dahulu jauh lebih berpengaruh bagi saya daripada pelajaran-pelajaran yang saya terima di dalam kelas. Sayangnya kegiatan pramuka dan PMR saat ini sukar diperoleh di sekolah swasta yang tidak menggunakan metode konvensional.

Satu kelemahan metoda konvensional itu bagi saya adalah masalah kesempatan. Anak-anak yang memiliki nilai akademis yang kurang bagus biasanya tidak memperoleh banyak kesempatan untuk mengembangkan bakat lainnya di sekolah. Prioritas utama guru hanyalah mendorong pencapaian nilai yang masuk dalam ambang batas kelulusan siswa. Padahal, menurut saya pribadi, kepercayaan diri sangat penting bagi keberhasilan seorang anak di kemudian hari.

Kepercayaan diri itulah yang ingin saya tanamkan ke pada anak-anak saya. Sayang sekali terkadang kehadiran saya yang selalu siap sedia mendampingi mereka terkadang berakibat semakin tergantungnya mereka kepada bantuan ibunya. Dalam hal ini saya belajar untuk mengenali batas-batas antara cara-cara demokratis, permisif, maupun otoriter. Terkadang antara demokratis dan permisif sangat tipis perbedaannya. Keinginan untuk menjadi demokratis bisa berakibat pengambilan tindakan-tindakan permisif. Dan ketika orang tua menghindari sikap permisif, bisa jadi kita tersandung pada perilaku otoriter.

Saya berharap kami tidak salah memilih sekolah yang cocok bagi anak-anak kami. Sekolah menjadi pasangan orang tua dalam mendidik anak. Terkadang timbul kebingungan dalam memilih sekolah, antara sekolah yang menerapkan disiplin tinggi dan bersifat konvensional dengan sekolah yang lebih interaktif sehingga terkadang terkesan kurang disiplin.

Membangun suasana demokratis memang susah-susah gampang. Terkadang batasan antara sikap permisif dan tidak disiplin, atau sikap otoriter dengan sikap disiplin terasa sangat tipis. Karena itu kerjasama pihak sekolah dan rumah memang sangat penting. Komunikasi antara orang tua, guru, dan pihak sekolah (baca: yayasan) sangat dibutuhkan untuk dapat memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak. Pembelajaran bukan hanya dari dalam ruang kelas, melainkan pembelajaran yang menyatu dengan keseharian anak, pembelajaran di luar dinding-dinding kelas. Itulah yang kemudian akan banyak berguna di kemudian hari.

Sunday 9 January 2011

Buah Hati

Empat belas tahun lalu, 9 Januari 1997, janji pernikahan terucap dari mulut saya dan suami, "...berjanji untuk selalu setia mengasihinya dalam suka dan duka, dan akan mencintai dan menghormatinya seumur hidup..." Sebelum mengucap janji terlebih dahulu kami menyatakan kesediaan untuk menjadi orang tua yang baik, bertanggung jawab dan selalu penuh kasih bagi anak-anak yang akan dipercayakan Tuhan kepada kami.

Fokus dari blog ini adalah anak-anak yang dipercayakanNya kepada kami. Sebab itulah blog ini dinamai Buah Hati. Seingat saya buah hati itu adalah buah cinta, dalam bahasa Indonesia khusus untuk anak. Ternyata pencarian saya ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ke empat, menghasilkan arti yang menurut saya agak berbeda. Arti pertama adalah jantung hati, arti kedua adalah kekasih yang tercinta. Rasanya istilah jantung hati memang pas untuk kekasih tercinta, tapi sebaliknya istilah buah hati bagiku terasa kurang pas ditujukan untuk kekasih. Saya sedang malas mencari Kamus Bahasa Indonesia saya yang lama, kalau tidak saya ingin memeriksa apakah definisi yang lama juga sama dengan definisi tersebut, atau justru sama dengan yang ada di kepala saya...lebih merujuk kepada anak.

Masih dari KBBI IV itu, ada istilah buah perut, yang katanya berasal dari bahasa Minangkabau untuk orang-orang yang menjadi anggota satu suku. Saya tidak menemukan istilah buah rahim, padahal jelas-jelas pembuahan itu terjadi di dalam rahim...

Bukan istilah dalam bahasa Indonesia yang penting untuk saya bicarakan di sini, melainkan perjalanan empat belas tahun mengarungi samudra kehidupan berkeluarga bersama tiga buah hati kami.

Ketika pertama memulai kehidupan berumah tangga tidak terasakan kesulitan yang berarti. Berbekal kemauan untuk saling mengerti dan saling menyesuaikan diri antara suami dan istri kehidupan bersama ini terasa lebih mudah dijalani. Bukan berarti tidak ada benturan karena perbedaan latar belakang, sifat, atau karakter masing-masing yang mungkin tidak jelas terlihat sebelum pernikahan. Tetapi, semua itu lebih mudah untuk diselesaikan. Suami tidak suka acara musik klasik ataupun acara kebudayaan lainnya, saya bisa pergi sendirian.

Benturan yang lebih besar mulai terasa ketika kelahiran demi kelahiran terjadi. Sementara saya sebagai istri mulai merasa semakin terikat ke tugas di dalam rumah, tampaknya suami juga semakin merasa terikat pada kewajiban di luar rumah untuk menambah penghasilan bagi kebutuhan ekonomi keluarga yang semakin bertambah. Ketika kehamilan pertama suami masih setia mengantar ke dokter kandungan, maka pada kehamilan berikutnya kesibukan kerja suami membuat jadwal kunjungan dokter yang dihadiri bersama suami menjadi berkurang.

Di satu sisi kehadiran buah hati terasa menjauhkan. Tetapi di sisi lain, sebenarnya kehadiran mereka merupakan perekat dalam pernikahan. Selama orang tua masih memprioritaskan kebahagiaan anak dalam kehidupan mereka, maka keberadaan buah hati akan menjadi pemicu untuk semakin kuat berusaha menjaga janji pernikahan kami.

Perpecahan karena masalah pendidikan anak juga bisa terjadi. Orang tua berasal dari dua keluarga yang memiliki pola pendidikan di rumah yang berbeda. Tidak jarang perbedaan itu bukan sekedar perbedaan kecil, melainkan sebuah perbedaan yang nyaris bertolak belakang. Belum lagi adanya kemungkinan kehadiran luka batin selama menjadi anak bisa mempengaruhi kualitas seseorang dalam menjadi orang tua. Karena itu sangat penting bagi orang tua untuk menyadari kebutuhan dasar seorang anak akan kasih sayang dan dukungan orang tuanya. Contoh dan kasih sayang itu yang menjadi teladan bagi anak sampai ke masa dewasanya ketika ia sendiri memulai kehidupan baru dalam berkeluarga.

Anak sebagai buah hati sebenarnya adalah keajaiban besar dalam rumah tangga. Melihat anak yang bertumbuh kembang sungguh memperlihatkan keajaiban yang Tuhan berikan pada makhlukNya. Waktu berlalu dengan cepat, tapi terkadang tidak terasakan sampai kita menyadari betapa seorang anak yang tadinya begitu kecil dan tampak rapuh sudah bertumbuh menjadi remaja yang mulai mencari jati diri dengan pembangkangan-pembangkangannya. Bagaimana agar anak remaja itu berkembang menjadi manusia dewasa yang mampu mandiri dan bertanggung jawab merupakan tantangan sang waktu yang terkadang terasa sangat pelit dalam memberikan keleluasaan.

Keajaiban lainnya adalah menyaksikan estafet genetis yang diberikanNya. Betapa terkadang wajah, sifat dan karakter bisa diturunkan dari orang tua ke anak. Ada anak yang mirip ibunya, ada yang mirip bapaknya, ada juga yang mirip kakek atau neneknya...indahnya keajaiban genetik.

Memiliki anak kembar membuat saya menyadari keajaiban lainnya. Betapa besar ciptaanNya. Pembuahan yang kemudian menjadi dua orang anak yang disembut kembar identik karena berasal dari satu sel telur memperlihatkan betapa ajaibnya kuasa Tuhan. Memiliki anak yang sehat dan sempurna hanya memampukan kami untuk bersyukur atas segala rahmatNya.

Empat belas tahun berlalu, satu anak memasuki masa remaja dalam usia dua belas tahun, dua lagi sedang menikmati masa kanak-kanaknya dalam usia delapan tahun. Hal ini mengingatkanku akan keajaiban lainnya. Waktu..Tuhan memberikan waktu untuk tumbuh dan berkembang, Tuhan mendampingi dalam menghadapi gelombang dan riak yang menempa bahtera rumah tangga.

Cobaan dan pergumulan dalam bahtera rumah tangga mengingatkan saya akan besarnya peran orang tuaku dalam kehidupanku. Betapa besar makna mereka dalam hidupku. Karena harus menghadapi anak-anak maka saya belajar melihat bagaimana orang tuaku melihat diriku. Saya belajar lebih mengenali mereka, belajar untuk berdamai dengan kemarahan-kemarahan atau luka batin yang mungkin ada. Sekali lagi terasa keajaibanNya. Betapa Ia memberi kami waktu untuk saling mengenali, dan saling membangun diri. Semoga Tuhan masih terus memberi kami waktu untuk saling berbagi....

Sunday 4 July 2010

ASI dan makanan padat

Masalah makanan padat pertama seringkali banyak terpengaruh dari kebiasaan keluarga. Rasanya masalah pemberian ASI (air susu ibu) atau bukan juga ikut berperan. Anak pertama saya mendapatkan ASI hingga usia 2 tahun. Herannya dia menjadi agak pemilih dalam hal makanan padat. Selain karena faktor alergi yang sudah pernah saya singgung dalam tulisan sebelum ini, tampaknya rasa dari makanan itu juga berpengaruh.

Sesuai dengan kebiasaan keluarga ibu saya, maka makanan padat pertama anak adalah pisang yang dikerok dan diberikan langsung ke anaknya. Anak pertama saya sangat pemilih, pisang yang diterimanya harus manis. Pemberian pisang ini seingat saya mulai usia empat bulan. Setelah itu masuk masa pemberian nasi tim. Anak pertama saya langsung mendapat nasi tim yang dihaluskan karena dia tidak pernah mau makan bubur. Termasuk bubur susu. Hal ini agak menyulitkan saya karena bila bepergian kami jadi agak kesulitan menyediakan makanan baginya. Bubur susu berbahan dasar kacang hijau dari salah satu merek bubur susu sempat disukainya. Tapi, jangan berharap mengganti merek karena pasti dilepeh keluar. Begitu juga makanan bayi dalam botol yang impor dari luar itu, tidak mau disentuhnya. Entah apa dia sudah berpikir ekonomis mencari makanan dalam negeri yang murah meriah. Kunci utama soal ini sepertinya memang terletak pada ASI yang jauh lebih manis daripada makanan buatan itu, kemudian nasi yang lebih asin daripada makanan ready to eat yang tersedia. Entah, bila hal ini menandakan bahwa seharusnya saya sebagai ibu perlu diet gula dan diet garam.

Anak pertama saya memang indra perasanya sangat peka. Suatu ketika sayur bening bayam untuk sang kakek tertukar dengan sayurnya. Sayur sang kakek tidak pakai garam karena harus diet garam, ketika hendak makan baru ditambah garam diet. Sang kakek makan dengan tenang, tidak merasakan kalau sayurnya cukup asin. Sementara itu si cucu dengan cepat menyemburkan makanannya ke luar mulut. Tentunya dia belum bisa berbicara, sehingga saya harus menyicipi sayur itu baru tahu letak kesalahannya.

Anak kembar saya rasanya tidak terlalu cerewet seperti kakaknya. Atau mungkin juga saya kurang memperhatikan karena di masa mereka kecil saya selalu memiliki bala bantuan. Satu suster dan satu asisten rumah tangga menemaniku. Kondisi paling jelek ya hanya ada seorang suster, biasanya hal ini hanya terjadi pada saat darurat. Tapi kembar yang lebih belakangan keluarnya lebih susah disuapi. Mereka berdua berbeda berat badan. Yang lahir lebih dahulu memiliki berat 2,4 kg sementara yang lahir kemudian memiliki berat lahir 2,6 kg. Karena yang belakangan ini susah makan, selalu ngemut makanan, maka akhirnya berat badannya terlampaui jauh oleh kembarannya.

Rasanya makanan yang dimakan sewaktu mereka masih di dalam perut tidak terlalu pengaruh. Malah agak lucu kalau dibandingkan. Ketika kehamilan anak pertama, saya sangat rajin makan makanan laut. Ikan, udang, dan cumi menjadi makanan yang paling sering saya makan. Maklum, anak pertama... Kebetulan suamiku juga suka makan makanan laut, jadilah saya sering diajak makan di tenda kakilima yang jualan udang dan teman-temannya itu. Ngidam waktu kehamilan anak pertama agak banyak. Ada ngidam manggis. Hehehe...seumur-umur saya tidak terlalu doyan manggis karena rasanya agak asam, tetapi ketika hamil tiba-tiba minta manggis. Suami sempat takut anaknya nanti berkulit hitam (soalnya dia juga setiap hari ngomelin tetangga depan rumah yang orang Afrika)...hahaha...untung anaknya lahir tetap putih bersih! Ada lagi ngidam Chicken steak dari AH, eh dia nggak beliin. Ketika akhirnya dia ingat, beli malah chicken steak dari Abubah. Heran ya, makhluk lelaki...pikirnya asal ayam ya sudah...Akhirnya anaknya ngeces, enggak tahu ya itu akibat ngidam yang tidak kesampaian atau bukan?! Ada juga ngidam sayur lodeh, tapi begitu seorang teman ibuku mengirimkan lodeh idamanku dan kumakan...langsung perutku bereaksi memuntahkan isinya ke luar.

Urusan muntah ini akrab denganku ketika aku hamil anak kembarku. Setiap kali makan pasti kumuntahkan kembali. Rasanya sudah seperti orang aneroksia. Hanya mangga harum manis matang yang masuk dengan selamat dan menjadi sumber energi utama selama kehamilan kembar itu. Proses muntah ketika hamil si kembar ini berlangsung dari sejak awal menyadari kehamilan hingga akhirnya melahirkan di usia kehamilan 35/36 minggu. Eh, tapi kalau kuingat lagi, waktu saya istirahat di tempat tidur Rumah Bersalin selama lima hari sebelum kelahiran mereka rasanya aku tidak muntah. Memang aku makan sedikit tapi tidak muntah. Aneh juga ya? Memang sih waktu itu aku merasa santai di Rumah Bersalin. Kondisi asisten Rumah Tangga yang agak bermasalah waktu itu menambah stress di rumah.

ASI untuk anak kembar ini harus terhenti di usia mereka yang 18 bulan karena aku terkena cacar air. Awalnya masih kuperah untuk mereka, tapi hasilnya sedikit sekali sehingga akhirnya terhenti. Karena selalu ada perawat bayi yang membantuku maka kesulitan memberi makan tidak terlalu terasa. Secara umum mereka juga lebih mudah diatur untuk duduk di kursi makan bayi.

Tampaknya ASI sangat mempengaruhi selera makanan padat bayi, dan kemudian cara (dan waktu) pemberian makanan padat juga berpengaruh pada tanggapan mereka terhadap makanan di kemudian hari.