Wednesday, 26 January 2011

Belajar dari Luar Ruang Kelas

Satu hal yang menyenangkan dalam pilihan untuk tidak mengejar karier adalah kesempatan untuk melihat anak-anak bertumbuh dan mengisi hari-harinya. Terus terang kondisi jalanan Jakarta yang macet parah membuat keputusan untuk tidak bekerja menjadi seperti keharusan. Terkadang pekerjaan paruh waktu tidak selamanya sungguh-sungguh paruh waktu. Janji bertemu dengan pemilik rumah yang ingin konsultasi desain tidak selalu bisa ditentukan dekat dengan rumah. Kemacetan Jakarta membuat janji yang hanya satu atau dua jam menghabiskan setengah atau bahkan satu hari saya. Karena itu, mencoba fokus kepada pertumbuhan anak-anak merupakan hal yang tampaknya lebih berharga.

Ketika anak-anak masih di Kelompok Bermain dan Taman Kanak-kanak, saya bahkan bisa ikut serta dalam kegiatan mereka di luar kelas. Banyak pengalaman menarik yang mereka alami dalam perjalanan ke luar sekolah. Terkadang pengalaman itupun bukan hal yang biasa bagi saya sendiri. Bayangkan kami pernah mengunjungi Dinas Pemadam Kebakaran, pernah menemani mereka masuk ke ruang masinis kereta api, berkunjung ke panti wreda dan panti asuhan, dan masih banyak lagi kegiatan lainnya.

Pembelajaran dari luar kelas menurut saya sangat penting. Hal ini terutama karena pembelajaran yang saya terima melalui kegiatan pramuka dan PMR dahulu jauh lebih berpengaruh bagi saya daripada pelajaran-pelajaran yang saya terima di dalam kelas. Sayangnya kegiatan pramuka dan PMR saat ini sukar diperoleh di sekolah swasta yang tidak menggunakan metode konvensional.

Satu kelemahan metoda konvensional itu bagi saya adalah masalah kesempatan. Anak-anak yang memiliki nilai akademis yang kurang bagus biasanya tidak memperoleh banyak kesempatan untuk mengembangkan bakat lainnya di sekolah. Prioritas utama guru hanyalah mendorong pencapaian nilai yang masuk dalam ambang batas kelulusan siswa. Padahal, menurut saya pribadi, kepercayaan diri sangat penting bagi keberhasilan seorang anak di kemudian hari.

Kepercayaan diri itulah yang ingin saya tanamkan ke pada anak-anak saya. Sayang sekali terkadang kehadiran saya yang selalu siap sedia mendampingi mereka terkadang berakibat semakin tergantungnya mereka kepada bantuan ibunya. Dalam hal ini saya belajar untuk mengenali batas-batas antara cara-cara demokratis, permisif, maupun otoriter. Terkadang antara demokratis dan permisif sangat tipis perbedaannya. Keinginan untuk menjadi demokratis bisa berakibat pengambilan tindakan-tindakan permisif. Dan ketika orang tua menghindari sikap permisif, bisa jadi kita tersandung pada perilaku otoriter.

Saya berharap kami tidak salah memilih sekolah yang cocok bagi anak-anak kami. Sekolah menjadi pasangan orang tua dalam mendidik anak. Terkadang timbul kebingungan dalam memilih sekolah, antara sekolah yang menerapkan disiplin tinggi dan bersifat konvensional dengan sekolah yang lebih interaktif sehingga terkadang terkesan kurang disiplin.

Membangun suasana demokratis memang susah-susah gampang. Terkadang batasan antara sikap permisif dan tidak disiplin, atau sikap otoriter dengan sikap disiplin terasa sangat tipis. Karena itu kerjasama pihak sekolah dan rumah memang sangat penting. Komunikasi antara orang tua, guru, dan pihak sekolah (baca: yayasan) sangat dibutuhkan untuk dapat memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak. Pembelajaran bukan hanya dari dalam ruang kelas, melainkan pembelajaran yang menyatu dengan keseharian anak, pembelajaran di luar dinding-dinding kelas. Itulah yang kemudian akan banyak berguna di kemudian hari.

Sunday, 9 January 2011

Buah Hati

Empat belas tahun lalu, 9 Januari 1997, janji pernikahan terucap dari mulut saya dan suami, "...berjanji untuk selalu setia mengasihinya dalam suka dan duka, dan akan mencintai dan menghormatinya seumur hidup..." Sebelum mengucap janji terlebih dahulu kami menyatakan kesediaan untuk menjadi orang tua yang baik, bertanggung jawab dan selalu penuh kasih bagi anak-anak yang akan dipercayakan Tuhan kepada kami.

Fokus dari blog ini adalah anak-anak yang dipercayakanNya kepada kami. Sebab itulah blog ini dinamai Buah Hati. Seingat saya buah hati itu adalah buah cinta, dalam bahasa Indonesia khusus untuk anak. Ternyata pencarian saya ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ke empat, menghasilkan arti yang menurut saya agak berbeda. Arti pertama adalah jantung hati, arti kedua adalah kekasih yang tercinta. Rasanya istilah jantung hati memang pas untuk kekasih tercinta, tapi sebaliknya istilah buah hati bagiku terasa kurang pas ditujukan untuk kekasih. Saya sedang malas mencari Kamus Bahasa Indonesia saya yang lama, kalau tidak saya ingin memeriksa apakah definisi yang lama juga sama dengan definisi tersebut, atau justru sama dengan yang ada di kepala saya...lebih merujuk kepada anak.

Masih dari KBBI IV itu, ada istilah buah perut, yang katanya berasal dari bahasa Minangkabau untuk orang-orang yang menjadi anggota satu suku. Saya tidak menemukan istilah buah rahim, padahal jelas-jelas pembuahan itu terjadi di dalam rahim...

Bukan istilah dalam bahasa Indonesia yang penting untuk saya bicarakan di sini, melainkan perjalanan empat belas tahun mengarungi samudra kehidupan berkeluarga bersama tiga buah hati kami.

Ketika pertama memulai kehidupan berumah tangga tidak terasakan kesulitan yang berarti. Berbekal kemauan untuk saling mengerti dan saling menyesuaikan diri antara suami dan istri kehidupan bersama ini terasa lebih mudah dijalani. Bukan berarti tidak ada benturan karena perbedaan latar belakang, sifat, atau karakter masing-masing yang mungkin tidak jelas terlihat sebelum pernikahan. Tetapi, semua itu lebih mudah untuk diselesaikan. Suami tidak suka acara musik klasik ataupun acara kebudayaan lainnya, saya bisa pergi sendirian.

Benturan yang lebih besar mulai terasa ketika kelahiran demi kelahiran terjadi. Sementara saya sebagai istri mulai merasa semakin terikat ke tugas di dalam rumah, tampaknya suami juga semakin merasa terikat pada kewajiban di luar rumah untuk menambah penghasilan bagi kebutuhan ekonomi keluarga yang semakin bertambah. Ketika kehamilan pertama suami masih setia mengantar ke dokter kandungan, maka pada kehamilan berikutnya kesibukan kerja suami membuat jadwal kunjungan dokter yang dihadiri bersama suami menjadi berkurang.

Di satu sisi kehadiran buah hati terasa menjauhkan. Tetapi di sisi lain, sebenarnya kehadiran mereka merupakan perekat dalam pernikahan. Selama orang tua masih memprioritaskan kebahagiaan anak dalam kehidupan mereka, maka keberadaan buah hati akan menjadi pemicu untuk semakin kuat berusaha menjaga janji pernikahan kami.

Perpecahan karena masalah pendidikan anak juga bisa terjadi. Orang tua berasal dari dua keluarga yang memiliki pola pendidikan di rumah yang berbeda. Tidak jarang perbedaan itu bukan sekedar perbedaan kecil, melainkan sebuah perbedaan yang nyaris bertolak belakang. Belum lagi adanya kemungkinan kehadiran luka batin selama menjadi anak bisa mempengaruhi kualitas seseorang dalam menjadi orang tua. Karena itu sangat penting bagi orang tua untuk menyadari kebutuhan dasar seorang anak akan kasih sayang dan dukungan orang tuanya. Contoh dan kasih sayang itu yang menjadi teladan bagi anak sampai ke masa dewasanya ketika ia sendiri memulai kehidupan baru dalam berkeluarga.

Anak sebagai buah hati sebenarnya adalah keajaiban besar dalam rumah tangga. Melihat anak yang bertumbuh kembang sungguh memperlihatkan keajaiban yang Tuhan berikan pada makhlukNya. Waktu berlalu dengan cepat, tapi terkadang tidak terasakan sampai kita menyadari betapa seorang anak yang tadinya begitu kecil dan tampak rapuh sudah bertumbuh menjadi remaja yang mulai mencari jati diri dengan pembangkangan-pembangkangannya. Bagaimana agar anak remaja itu berkembang menjadi manusia dewasa yang mampu mandiri dan bertanggung jawab merupakan tantangan sang waktu yang terkadang terasa sangat pelit dalam memberikan keleluasaan.

Keajaiban lainnya adalah menyaksikan estafet genetis yang diberikanNya. Betapa terkadang wajah, sifat dan karakter bisa diturunkan dari orang tua ke anak. Ada anak yang mirip ibunya, ada yang mirip bapaknya, ada juga yang mirip kakek atau neneknya...indahnya keajaiban genetik.

Memiliki anak kembar membuat saya menyadari keajaiban lainnya. Betapa besar ciptaanNya. Pembuahan yang kemudian menjadi dua orang anak yang disembut kembar identik karena berasal dari satu sel telur memperlihatkan betapa ajaibnya kuasa Tuhan. Memiliki anak yang sehat dan sempurna hanya memampukan kami untuk bersyukur atas segala rahmatNya.

Empat belas tahun berlalu, satu anak memasuki masa remaja dalam usia dua belas tahun, dua lagi sedang menikmati masa kanak-kanaknya dalam usia delapan tahun. Hal ini mengingatkanku akan keajaiban lainnya. Waktu..Tuhan memberikan waktu untuk tumbuh dan berkembang, Tuhan mendampingi dalam menghadapi gelombang dan riak yang menempa bahtera rumah tangga.

Cobaan dan pergumulan dalam bahtera rumah tangga mengingatkan saya akan besarnya peran orang tuaku dalam kehidupanku. Betapa besar makna mereka dalam hidupku. Karena harus menghadapi anak-anak maka saya belajar melihat bagaimana orang tuaku melihat diriku. Saya belajar lebih mengenali mereka, belajar untuk berdamai dengan kemarahan-kemarahan atau luka batin yang mungkin ada. Sekali lagi terasa keajaibanNya. Betapa Ia memberi kami waktu untuk saling mengenali, dan saling membangun diri. Semoga Tuhan masih terus memberi kami waktu untuk saling berbagi....