Masalah makanan padat pertama seringkali banyak terpengaruh dari kebiasaan keluarga. Rasanya masalah pemberian ASI (air susu ibu) atau bukan juga ikut berperan. Anak pertama saya mendapatkan ASI hingga usia 2 tahun. Herannya dia menjadi agak pemilih dalam hal makanan padat. Selain karena faktor alergi yang sudah pernah saya singgung dalam tulisan sebelum ini, tampaknya rasa dari makanan itu juga berpengaruh.
Sesuai dengan kebiasaan keluarga ibu saya, maka makanan padat pertama anak adalah pisang yang dikerok dan diberikan langsung ke anaknya. Anak pertama saya sangat pemilih, pisang yang diterimanya harus manis. Pemberian pisang ini seingat saya mulai usia empat bulan. Setelah itu masuk masa pemberian nasi tim. Anak pertama saya langsung mendapat nasi tim yang dihaluskan karena dia tidak pernah mau makan bubur. Termasuk bubur susu. Hal ini agak menyulitkan saya karena bila bepergian kami jadi agak kesulitan menyediakan makanan baginya. Bubur susu berbahan dasar kacang hijau dari salah satu merek bubur susu sempat disukainya. Tapi, jangan berharap mengganti merek karena pasti dilepeh keluar. Begitu juga makanan bayi dalam botol yang impor dari luar itu, tidak mau disentuhnya. Entah apa dia sudah berpikir ekonomis mencari makanan dalam negeri yang murah meriah. Kunci utama soal ini sepertinya memang terletak pada ASI yang jauh lebih manis daripada makanan buatan itu, kemudian nasi yang lebih asin daripada makanan ready to eat yang tersedia. Entah, bila hal ini menandakan bahwa seharusnya saya sebagai ibu perlu diet gula dan diet garam.
Anak pertama saya memang indra perasanya sangat peka. Suatu ketika sayur bening bayam untuk sang kakek tertukar dengan sayurnya. Sayur sang kakek tidak pakai garam karena harus diet garam, ketika hendak makan baru ditambah garam diet. Sang kakek makan dengan tenang, tidak merasakan kalau sayurnya cukup asin. Sementara itu si cucu dengan cepat menyemburkan makanannya ke luar mulut. Tentunya dia belum bisa berbicara, sehingga saya harus menyicipi sayur itu baru tahu letak kesalahannya.
Anak kembar saya rasanya tidak terlalu cerewet seperti kakaknya. Atau mungkin juga saya kurang memperhatikan karena di masa mereka kecil saya selalu memiliki bala bantuan. Satu suster dan satu asisten rumah tangga menemaniku. Kondisi paling jelek ya hanya ada seorang suster, biasanya hal ini hanya terjadi pada saat darurat. Tapi kembar yang lebih belakangan keluarnya lebih susah disuapi. Mereka berdua berbeda berat badan. Yang lahir lebih dahulu memiliki berat 2,4 kg sementara yang lahir kemudian memiliki berat lahir 2,6 kg. Karena yang belakangan ini susah makan, selalu ngemut makanan, maka akhirnya berat badannya terlampaui jauh oleh kembarannya.
Rasanya makanan yang dimakan sewaktu mereka masih di dalam perut tidak terlalu pengaruh. Malah agak lucu kalau dibandingkan. Ketika kehamilan anak pertama, saya sangat rajin makan makanan laut. Ikan, udang, dan cumi menjadi makanan yang paling sering saya makan. Maklum, anak pertama... Kebetulan suamiku juga suka makan makanan laut, jadilah saya sering diajak makan di tenda kakilima yang jualan udang dan teman-temannya itu. Ngidam waktu kehamilan anak pertama agak banyak. Ada ngidam manggis. Hehehe...seumur-umur saya tidak terlalu doyan manggis karena rasanya agak asam, tetapi ketika hamil tiba-tiba minta manggis. Suami sempat takut anaknya nanti berkulit hitam (soalnya dia juga setiap hari ngomelin tetangga depan rumah yang orang Afrika)...hahaha...untung anaknya lahir tetap putih bersih! Ada lagi ngidam Chicken steak dari AH, eh dia nggak beliin. Ketika akhirnya dia ingat, beli malah chicken steak dari Abubah. Heran ya, makhluk lelaki...pikirnya asal ayam ya sudah...Akhirnya anaknya ngeces, enggak tahu ya itu akibat ngidam yang tidak kesampaian atau bukan?! Ada juga ngidam sayur lodeh, tapi begitu seorang teman ibuku mengirimkan lodeh idamanku dan kumakan...langsung perutku bereaksi memuntahkan isinya ke luar.
Urusan muntah ini akrab denganku ketika aku hamil anak kembarku. Setiap kali makan pasti kumuntahkan kembali. Rasanya sudah seperti orang aneroksia. Hanya mangga harum manis matang yang masuk dengan selamat dan menjadi sumber energi utama selama kehamilan kembar itu. Proses muntah ketika hamil si kembar ini berlangsung dari sejak awal menyadari kehamilan hingga akhirnya melahirkan di usia kehamilan 35/36 minggu. Eh, tapi kalau kuingat lagi, waktu saya istirahat di tempat tidur Rumah Bersalin selama lima hari sebelum kelahiran mereka rasanya aku tidak muntah. Memang aku makan sedikit tapi tidak muntah. Aneh juga ya? Memang sih waktu itu aku merasa santai di Rumah Bersalin. Kondisi asisten Rumah Tangga yang agak bermasalah waktu itu menambah stress di rumah.
ASI untuk anak kembar ini harus terhenti di usia mereka yang 18 bulan karena aku terkena cacar air. Awalnya masih kuperah untuk mereka, tapi hasilnya sedikit sekali sehingga akhirnya terhenti. Karena selalu ada perawat bayi yang membantuku maka kesulitan memberi makan tidak terlalu terasa. Secara umum mereka juga lebih mudah diatur untuk duduk di kursi makan bayi.
Tampaknya ASI sangat mempengaruhi selera makanan padat bayi, dan kemudian cara (dan waktu) pemberian makanan padat juga berpengaruh pada tanggapan mereka terhadap makanan di kemudian hari.